Biografi Istri-istri Nabi Muhammad SAW
Khadijah binti Khuwailid (wafat
3h)
Khadijah binti Khuwailid adalah
sebaik-baik wanita ahli surga. Ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Sebaik-baik
wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”
Khadijah adalah wanita pertama
yang hatinya tersirami keimanan dan dikhususkan Allah untuk memberikan
keturunan bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam., menjadi wanita pertama
yang menjadi Ummahatul Mukminin, serta turut merasakan berbagai kesusahan pada
fase awal jihad pcnyebaran agarna Allah kepada seluruh umat manusia.
Khadijah adalah wanita yang hidup
dan besar di lingkungan Suku Quraisy dan lahir dari keluarga terhormat pada
lima belas tahun sebelum Tahun Gajah, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin
mempersuntingnya.
Sebelum menikah dengan
Rasulullah, Khadijah pernah dua kali menikah. Suami pertama Khadijah adalah Abu
Halah at-Tamimi, yang wafat dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga
jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Pernikahan kedua Khadijah adalah
dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang juga wafat dengan meninggalkan harta dan
perniagaan. Dengan demikian, Khadijah menjadi orang terkaya di kalangan suku
Quraisy.
Wanita Suci
Sayyidah Khadijah dikenal dengan
julukan wanita suci sejak perkawinannya dengan Abu Halah dan Atiq bin Aidz
karena keutamaan ãkhlak dan sifat terpujinya. Karena itu, tidak heran jika
kalangan Quraisy memberikan penghargaan dan berupa penghormatan yang tinggi
kepadanya.
Kekayaan yang berlimpahlah yang
menjadikan Khadijah tetap berdagang. Akan tetapi, Khadijah merasa tidak mungkin
jika sernua dilakukan tanpa bantuan orang lain. Tidak mungkin jika dia harus
terjun langsung dalam berniaga dan bepergian membawa barang dagangan ke Yaman
pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Kondisi itulah yang menyebabkan
Khadijah mulai mempekerjakan beberapa karyawan yang dapat menjaga amanah atas
harta dan dagangannya. Untuk itu, para karyawannya menerima upah dan bagian
keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Walaupun pekerjaan itu cukup sulit,
bermodalkan kemampuan intelektual dan kecemer1angan pikiran yang didukung oleh
pengetahuan dasar tentang bisnis dan bekerja sama, Khadijah mampu menyeleksi
orang-orang yang dapat diajak berbisnis. Itulah yang mengantarkan Khadilah
menuju kesuksesan yang gemilang.
Pemuda yang Jujur
Khadijah memiliki seorang pegawai
yang dapat dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah. Dia dikenal sebagai
pemuda yang ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani melimpahkan
tanggung jawab untuk pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring dan
menyiapkan kafilah, menentukan harga, dan memilih barang dagangan. Sebenarnya
itu adalah pekerjaan berat, namun penugasan kepada Maisarah tidaklah sia-sia.
Pemuda Pemegang Amanah
Kaum Quraisy tidak mengenal
pemuda mana pun yang wara, takwa, dan jujur selain Muhammad bin Abdullah, yang
sejak usia lima belas tahun telah diajak oleh Maisarah untuk menyertainya
berdagang.
Seperti biasanya, Maisarah
menyertai Muhammad ke Syam untuk membawa dagangan Khadijah, karena memang
keduanya telah sepakat untuk bekerja sama. Perniagaan mereka ketika itu
memberikan keuntungan yang sangat banyak sehingga Maisarah kembali membawa
keuntungan yang berlipat ganda. Maisarah mengatakan bahwa keuntungan yang
mereka peroleh itu berkat Muhammad yang berniaga dengan penuh kejujuran.
Maisarah menceritakan kejadian aneh selama melakukan perjalanan ke Syam dengan
Muhammad. Selama perjalanan, dia melihat gulungan awan tebal yang senantiasa mengiringi
Muhammad yang seolah-olah melindungi beliau dari sengatan matahari. Dia pun
mendengar seorang rahib yang bernama Buhairah, yang mengatakan bahwa Muhammad
adalah laki-laki yang akan menjadi nabi yang ditunggu-tunggu oleh orang Arab
sebgaimana telah tertulis di dalam Taurat dan Injil.
Cerita-cerita tentang Muhammad
itu meresap ke dalam jiwa Khadijah, dan pada dasarnya Khadijah pun telah
merasakan adanya kejujuran, amanah, dan cahaya yang senantiasa menerangi wajah
Muhammad. Perasaan Khadijah itu menimbulkan kecenderungan terhadap Muhammad di
dalam hati dan pikirannya, sehingga dia menemui anak pamannya, Waraqah bin
Naufal, yang dikenal dengan pengetahuannya tentang orang- orang terdahulu.
Waraqah mengatakan bahwa akan muncul nabi besar yang dinanti-nantikan manusia
dan akan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Allah. Penuturan
Waraqah itu menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah terhadap Muhammad
semakin bertambah, sehingga dia ingin menikah dengan Muhammad. Setelah itu dia
mengutus Nafisah, saudara perempuan Ya’la bin Umayyah untuk meneliti lebih jauh
tentang Muhammad, sehingga akhirnya Muhammad diminta menikahi dirinya.
Ketika itu Khadijah berusia empat
puluh tahun, namun dia adalah wanita dari golongan keluarga terhormat dan kaya
raya, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya. Muhammad pun
menyetujui permohonan Khadijah tersebut. Maka, dengan salah seorang pamannya,
Muhammad pergi menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin As’ad untuk
meminang Khadijah.
Istri Pertama Rasulullah
Allah menghendaki pernikahan
hamba pilihan-Nya itu dengan Khadijah. Ketika itu, usia Muhammad baru menginjak
dua puluh lima tahun, sementara Khadijah empat puluh tahun. Walaupun usia
mereka terpaut sangat jauh dan harta kekayaan mereka pun tidak sepadan,
pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah Subhanahu wa
ta’ala telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.
Khadijah adalah istri Nabi yang
pertama dan menjadi istri satu-satunya sebelum dia rneninggal. Allah
menganugerahi Nabi Shallallahu alaihi wassalam. melalui rahirn Khadijah
beberapa orang anak ketika dibutuhkan persatuan dan banyaknya keturunan. Dia
telah mernberikan cinta dan kasih sayang kepada Rasuluflah Shallallahu alaihi
wassalam. pada saat-saat yang sulit dan tindak kekerasan dan kekejaman datang
dari kerabat dekat. Bersama Khadijah, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
mernperoleh per1akuan yang baik serta rumah tangga yang tenteram damai, dan
penuh cinta kasih, setelah sekian lama beliau merasakan pahitnya menjadi anak
yatirn piatu dan miskin.
Putra-putri Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam
Khadijah melahirkan dua orang
anak laki-laki, yaitu Qasim dan Abdullah serta empat orang anak perempuan,
yaitu Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Seluruh putra dan putrinya
lahir sebelum masa kenabian, kecuali Abdullah. Karena itulah, Abdullah kemudian
dijuluki ath-Thayyib (yang balk) dan ath-Thahir (yang suci).
Zainab banyak rnenyerupai ibunya.
Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak bibinya, Abul Ash ibnur Rabi’.
Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa pertama Rasulullah rnenikahkan
putrinya, dan yang terakhir beliau menikahkan Ummu Kultsum dan Ruqayah dengan
dua putra Abu Lahab, yaitu Atabah dan Utaibah. Ketika Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. diutus menjadi Rasul, Fathimah az-Zahra, putri bungsu beliau rnasih
kecil.
Selain mereka ada juga Zaid bin
Haritsah yang sering disebut putra Muhammad. Semula, Zaid dibeli oleh Khadijah
dari pasar Mekah yang kemudian dijadikan budaknya. Ketika Khadijah menikah
dengan Muhammad, Khadijah memberikan Zaid kepada Muhammad sebagai hadiah.
Rasulullah sangat mencintai Zaid karena dia memiliki sifat-sifat yang terpuji.
Zaid pun sangat mencintai Rasulullah. Akan tetapi di tempat lain, ayah kandung
Zaid selalu mencari anaknya dan akhirnya dia mendapat kabar bahwa Zaid berada
di tempat Muhammad dan Khadijah. Dia mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam untuk memohon agar beliau mengembalikan Zaid kepadanya walaupun dia
harus membayar mahal. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam memberikan
kebebasan penuh kepada Zaid untuk memilih antara tetáp tinggal bersamanya dan
ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama Rasulullah, schingga dan
sinilah kita dapat mengetahuisifat mulia Zaid.
Agar pada kemudian hari nanti
tidak menjadi masalah yang akan memberatkan ayahnya, Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. dan Zaid bin Haritsah menuju halaman Ka’bah untuk mengummkan
kebebasan Zaid dan pengangkatan Zaid sebagai anak. Setelah itu, ayahnya merelakan
anaknya dan merasa tenang. Dari situlah mengapa banyak yang menjuluki Zaid
dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Akan tetapi, hukum pengangkatan anak itu
gugur setelah turun ayat yang membatalkannya, karena hal itu merupakan adat
jahiliah, sebagaimana firman Allah berikut ini:
” … jika kamu mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggillah merela sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu … ” (QS. At-Taubah:5)
Pada Masa Kenabian Muhammad
Shallallahu alaihi wassalam.
Muhammad bin Abdullah hidup
berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid dengan tenterarn di bawah
naungan akhlak mulia dan jiwa suci sang suami. Ketika itu, Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. menjadi tempat mengadu orang-orang Quraisy dalam
menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang terjadi di antara mereka. Hal
itu menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah di hadapan mereka pada masa
prakenabian. Beliau menyendiri di Gua Hira, menghambakan din kepada Allah yang
Maha Esa, sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim a.s.
Khadijah sangat ik.hlas dengan
segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir selama ditinggal
suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan minuman selama
beliau di dalam gua, karena dia yakin bahwa apa pun yang dilakukan suaminya
merupakan masalah penting yang akan mengubah dunia. Ketika itu, Nabi Muhammad
berusia empat puluh tahun.
Suatu ketika, seperti biasanya
beliau menyendiri di Gua Hira –waktu itu bulan Ramadhan–. Beliau sangat gemetar
ketika mendengar suara gaib Malaikat Jibril memanggil beliau. Malaikat Jibril
menyuruh beliau membaca, namun beliau hanya menjawab, “Aku tidak dapat
membaca.” Akhirnya, Malaikat Jibril mendekati dan mendekap beliau ke dadanya,
seraya berkata, “Bacalah, wahai Muhammad!” Ketika itu Muhammad sangat bingung
dan ketakutan, seraya menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Mendengar itu,
Malaikat Jibril mempererat dekapannya, dan berkata, “Bacalah dengan menyebut
nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah
Yang Maha Mulia. Dia mengajari manusia dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan
segala sesuatu yang belum mereka ketahui.” Rasulullah Muhammad mengikuti bacaan
tersebut. Keringat deras mengucur dari seluruh tubuhnya sehingga beliau
kepayahan dan tidak menemukan jalan menuju rumah. Khadijah melihat beliau dalam
keadaan terguncang seperti itu, kemudian memapahnya ke rumah, serta berusaha
menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran yang memenuhi dadanya. “Berilah aku
selimut, Khadijah!” Beberapa kali beliau meminta istrinya menyelimuti tubuhnya.
Khadijah memberikan ketenteraman kepada Rasulullah dengan segala kelembutan dan
kasih sayang sehingga beliau merasa tenteram dan aman. Beliau ridak langsung
menceritakan kejadian yang menimpa dirinya kepada Khadijah karena khawatir
Khadijah menganggapnya sebagai ilusi atau khayalan beliau belaka.
Pribadi yang Agung
Setelah rasa takut beliau hilang,
Khadilah berupaya agar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. mengutarakan apa
yang telah dialaminya, dan akhirnya beliau pun menceritakan peristiwa yang baru
dialaminya. Khadijah mendengarkan cerita suaminya dengan penuh minat dan
mempercayai semuanya, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. merasa
bahwa istrinya pun menduga akan terjadinya hal-hal seperti itu.
Sejak semula Khadijah telah yakin
bahwa suaminya akan menerima amanat Allah Yang Maha Besar untuk seluruh alam
semesta. Kejadian tersebut merupakan awal kenabian dan tugas Muhammad
menyampaikan amanat Allah kepada manusia. Hal itu pun merupakan babak baru
dalam kehidupan Khadijah yang dengannya dia harus mempercayai dan meyakini
ajaran Rasulullah Muhammad, sehingga Rasulullah mengatakan, “Aku
rnengharapkannya menjadi benteng yang kuat bagi diriku.”
Di sinilah tampak kebesaran
pribadi serta kematangan dan kebijaksanaan pemikiran Khadijah. Khadijah telah
mencapai derajat yang tinggi dan sempurna, yang belum pernah dicapai oleh
wanita mana pun. Dia telah berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam, “Demi Allah, Allah tidak akan menyia nyiakanrnu Engkau selalu
menghubungkan silaturahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, menolong
orang papa, menghorrnati tamu, dan membantu meringankan derita dan musibah
orang lain.”
Setelah Rasulullah merasa
tenteram dan dapat tidur dengan tenang, Khadijah mendatangi anak pamannya,
Waraqah bin Naufal, yang tidak terpengaruhi tradisi jahiliah. Khadijah
menceritakan kejadian yang dialami suaminya. Mendengar cerita mengenai
Rasulullah, Waraqah berseru, “Maha Mulia…Maha Mulia…. Demi yang jiwa Waraqah
dalam genggaman-Nya, kalau kau percaya pada ucapanku, maka apa yang diihat
Muhammad di Gua Hira itu merupakan suratan yang turun kepada Musa dan Isa
sebelumnya, dan Muhammad adalah nabi akhir zaman, dan namanya tertulis dalam
Taurat dan Injil.” Mendengar kabar itu, Khadijah segera menemui suaminya
(Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam) dan menyampaikan apa yang dikatakan
oleh Waraqah.
Awal Masa Jihad di Jalan Allah
Khadijah meyakini seruan suaminya
dan menganut agarna yang dibawanya sebelum diumumkan kepada rnasyarakat. Itulah
langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya berjihad di jalan Allah dan
turut menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan agama Allah.
Beberapa waktu kemudian Jibril
kembali mendatangi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam. untuk membawa wahyu
kedua dari Allah:
“Hai orang yang berkemul
(berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah dan
pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah,
dan janganlab kamu memberi (dengan maksud) memperoleb (balasan) yang lebih
banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS.
Al-Muddatstir:1-7)
Ayat di atas merupakan perintah
bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada kalangan kerabat dekat dan
ahlulbait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang menyatap kan beriman pada
risalah Rasulullah Muhammad dan menyatakan kesediaannya menjadi pembela setia
Nabi. Kemudian menyusul Ali bin Abi Thalib, anak paman Rasulullah yang sejak
kecil diasuh dalam rumah tangga beliau. Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama
yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, kemudian Zaid bin Haritsah, hamba
sahaya Rasulullah yang ketika itu dijuluki Zaid bin Muhammad. Dari kalangan
laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar masuk Islam, diikuti Utsman bin Affan,
Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, az-Zubair ibnu Awam, Thalhah bin
Ubaidilah, dan sahabat-sahat lainnya. Mereka masuk menyatakan Islam secara
sembunyi-sembunyi sehingga harus melaksanakan shalat di pinggiran kota Mekah.
Masa Berdakwah Terang-terangan
Setelah berdakwah secara
sembunyi- sembunyi, turunlah perintah Allah kepada Rasulullah untuk memulai
dakwah secara terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ke tengah-tengah
umat seraya berseru lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar… Tiada Tuhan selain
Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga tidak dilahirkan.”
Seruan beliau sangat aneh terdengar di telinga orang-orang Quraisy. Rasulullah
Muhammad memanggil manusia untuk beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan Laata,
Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain yang mernenuhi pelataran Ka’bah.
Tentu saja mereka menolak, mencaci maki, bahkan tidak segan-segan menyiksa
Rasulullah. Setiap jalan yang beliau lalui ditaburi kotoran hewan dan duri.
Khadijah tampil mendampingi
Rasulullah dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan. Wajahnya
senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata jujur. Setiap
kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang Quraisy selalu
didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian dia memotivasi
dan rnenguatkan hati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam. Bersama
Rasulullah, Khadijah turut menanggung kesulitan dan kesedihan, sehingga tidak
jarang dia harus mengendapkan perasaan agar tidak terekspresikan pada muka dan
mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalab tutur kata yang lemah lembut
sebagai penyejuk dan penawar hati.
Orang yang paling keras menyakiti
Rasulullah adalah paman beliau sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang
lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta istrinya, Ummu Jamil. Mereka
memerintah anak-anaknya untuk memutuskan pertunangan dengan kedua putri
Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Walaupun begitu, Allah telah menyediakan
pengganti yang lebih mulia, yaitu Utsman bin Affan bagi Ruqayah. Allah mengutuk
Abu Lahab lewat firman-Nya :
“Binasalah kedua tangan Abu
Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta
bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya
ada tali dan sabut. “ (QS. Al-Lahab:1-5)
Khadijah adalah tempat berlindung
bagi Rasulullah. Dari Khadijah, beliau memperoleh keteduhan hati dan keceriaan
wajah istrinya yang senantiasa menambah semangat dan kesabaran untuk terus
berjuang menyebarluaskan agama Allah ke seluruh penjuru. Khadijah pun tidak
memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan dalam perjuangan ini.
Sementara itu, Abu Thalib, parnan Rasulullah, menjadi benteng pertahanan beliau
dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy, sebab Abu Thalib adalah
figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum Quraisy.
Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap
Kaum Muslimin
Setelah berbagai upaya gagal
dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam,
baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum Quraisy memutuskan
untuk memboikot dan mengepung kaum muslimin dan menulis deklarasi yang kemudian
digantung di pintu Ka’bah agar orang-orang Quraisy memboikot kaum muslimin,
termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga pamannya. Mereka terisolasi di
pinggiran kota Mekah dan diboikot oleh kaum Quraisy dalam bentuk embargo atas
transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya.
Dalam kondisi seperti itu,
Rasulullah dan istrinya dapat bertahan, walaupun kondisi fisiknya sudah tua dan
lemah. Ketika itu kehidupan Khadijah sangat jauh dan kehidupan sebelumnya yang
bergelimang dengan kekayaan, kemakmuran, dan ketinggian derajat. Khadijah rela
didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. dan kaum muslimin. Dia sangat yakin bahwa tidak lama lagi pertolongan
Allah akan datang. Keluarga mereka yang lain, sekali-kali dan secara
sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup.
Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun, tetapi tidak sedikit pun
menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka rasakan adalah bertambah
kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha kaum Quraisy telah gagal,
sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum muslimin kembali ke
Mekah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. pun kembali menyeru nama Allah
Yang Mulia dan melanjutkan jihad beliau.
Wafatnya Khadijah
Beberapa hari setelah
pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali
mi merupakan akhir dan hidupnva. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufjan dan Abu
Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati Muhammad agar menghentikan
dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan tetapi, Abu
Thalib tidak bersedia, dan dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam tidak akan bersedia menukar dakwahnya dengan pangkat dan harta sepenuh
dunia.
Abu Thalib meninggal pada tahun
itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam
kehidupan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Sebaliknya, orang-orang
Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu, karena mereka akan lebih
leluasa mengintimidasi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan pengikutnya.
Pada saat kritis menjelang kematian pamannya, Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. membisikkan sesuatu, Secepat ini aku kehilangan engkau?
Pada tahun yang sama, Sayyidah
Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan
karena pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya semakin menurun,
sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. semakin sedih. Bersama
Khadijahlah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membangun kehidupan rumah
tangga yang bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia enam puluh
lima tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu Thalib. Khadijah dikuburkan di
dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun. Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan
kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah:
“Sebaik-baik wanita penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan Khadijah binti
Khuwailid.”
Khadijah meninggal setelah
mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita lain, Dia adalah
Ummul Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama yang mernpercayai
risalah Rasulullah, dan wanita pertama yang melahirkan putra-putri Rasulullah.
Dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan jihad di jalan
Allah. Dialah orang pertama yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya adalah
ahli surga. Kenangan terhadap Khadijah senantiasa lekat dalam hati Rasulullah
sampai beliau wafat. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Khadijah
binti Khuwailid dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin
Saudah binti Zam`ah (wafat
19 H)
Walaupun Saudah binti Zam’ah
tidak terlalu populer dibandingkan dengan istri Rasulullah lainnya, dia tetap
termasuk wanita yang memiliki martabat yang mulia dan kedudukan yang tinggi di
sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad di jalan Allah dan termasuk
wanita yang pertama kali hijrah ke Madinah. Perjalanan hidupnya penuh dengan
teladan yang baik, terutama bagi wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam menikahinya bukan semata-mata karena harta dan kecantikannya,
karena memang dia tidak tergolong wanita cantik dan kaya. Yang dilihat
Rasulullah adalah semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya,
perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, keimanan, serta keikhlasannya kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Dia adalah Seorang Janda
Telah kita ketahui bahwa pada
tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat oleh Abu Thalib dan Khadijah,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tengah mengalami masa sulit. Kondisi
seperti itu dimanfaatkan olah orang-orang Quraisy untuk menyiksa Rasulullah dan
kaum muslimin. Pada tahun-tahun ini, terasa cobaan dan kesedihan datang sangat
besar dan silih berganti.
Ketika itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam berpikir untuk kembali ke Tsaqif atau Thaif,
dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah untuk masuk Islam
dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak mentah-mentah
kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan anak-anak mereka melempari beliau
dengan batu, hingga kedua tumit beliau luka dan berdarah. Walaupun begitu,
beliau tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar memperoleh hidayah.
Dalam keadaan kesepian sesudah
kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj. Malaikat Jibril membawa
Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan Buraq, kemudian menuju langit ke
tujuh, dan di sana beliau menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika
kembali ke Mekah, beliau menuju Ka’bah dan mengumpulkan orang-orang untuk
mendengarkan kisah perjalanan beliau yang sangat menakjubkan itu. Kaum
musyrikin yang mendengar kisah itu tidak memercayainya, bahkan mengolok-olok
beliau, Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus beliau hadapi. Dalam
kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zam’ah yang ikut berjuang dan
senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri Rasulullah yang
kedua setelah Khadijah.
Terdapat beberapa kisah yang
menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Zum’ah. Tersebutlah Khaulah
binti Hakim, salah seorang mujahid wanita yang pertama masuk Islam. Khaulah
adalah istri Ustman bin Madh’um. Dia yang dikenal sebagai wanita yang
berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai tersendiri
bagi Rasulullah. Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah
sangat memahami kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang
nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu Kultsum
dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada mulanya, Utsman bin
Madh’um kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena khawatir hal itu akan
menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada pendiriannya.
Kemudian Khaulah menemui
Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang akan mengurus rumah tangga
beliau. Dengan saksama, beliau mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah karena
baru pertama kali ini ada orang yang memperhatikan masalah rumah tangganya
dalam kondisi beliau yang sangat sibuk dalam menyebarkan agama Allah. Beliau
melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran, sehingga
beliau pun bertanya, “Siapakah yang kau pilih untukku?” Dia menjawab, “Jika
engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan jika
yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia adalah Saudah binti Zam’ah.”
Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zam’ah, yang sejak keislamannya begitu
banyak memikul beban perjuangan menyebarkan Islam, sehingga pilihan beliau
jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memilih janda yang
namanya hanya dikenal oleh beberapa orang. Pernikahan beliau dengannya tidak
didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih karena
Rasulullah yakin bahwa Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah tangga
beliau setelah Khadijah wafat.
Jika kita rajin menyimak beberapa
catatan sejarah tentang kehidupan Rasulullah yang berkaitan dengan Saudah binti
Zam’ah, kita akan menemukan beberapa keterangan tentang sosok Saudah. Saudah
adalah seorang wanita yang tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga
tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Rasulullah
memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang kokoh. Dia termasuk
wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung kesulitan hidup.
Nasab dan Keislamannya
Saudah binti Zam’ah yang bernama
lengkap Saudah binti Zam’ah bin Abdi Syamsin bin Abdud dari Suku Quraisy
Amiriyah. Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di
antara keluarganya, dia dikenal memiliki otak cemerlang dan berpandangan luas.
Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi
istri yang setia dan tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan
terang-terangan, suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama kali menerima
hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu
Syamsin. Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya,
Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang dianutnya.
Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat memahami ajaran
Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah.
Hijrah ke Habbasyah
Keislaman Syukran, Saudah, dan
beberapa orang yang mengikuti jejak mereka berakibat cemoohan, penganiayaan,
dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka. Karena itu, Syukran menemui
Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah memeluk Islam, seperti
saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil bin Amr),
ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah menasihati agar
mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar mereka hijrah ke
Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih dahulu hijrah,
seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad. Akhirnya, kaum
muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin yang hijrah ke dua ke
Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan pedihnya meninggalkan kampung
halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca buruk demi menegakkan
agama yang diyakininya.
Di Habasyah mereka disambut dan
diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun keyakinan mereka berbeda,
sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu raja. Akan tetapi, rasa
rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah Rasulullah mendera mereka.
Sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke Mekah, mereka mengisi waktu
dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan Rasulullah dan saudara-saudara
seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin Khaththab, mereka
menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab adalah pemuka
Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah
dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan gangguan kaum
Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin Amr. Akan
tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak kakinya
menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah perjalanan menuju
Mekah.
Betapa sedih perasaan Saudah
binti Zum’ah ketika mendengar suaminya meninggal dunia. Baru saja dia mengalami
betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman, sulitnya perjalanan ke Habasyah,
cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy, sekarang dia harus merasakan
sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan orang yang senantiasa
bersamanya dalam jihad di jalan Allah.
Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Saudah binti Zam’ah menanggung
semua derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan, serta menyerahkan semuanya
kepada Allah dengan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali ke Mekah
sebagai satu-satunya janda, dengan perkiraan bahwa keadaan kaum muslimin di
Mekah sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan memeluk Islam.
Akan tetapi, ternyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap merajalela. Dalam
kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain kembali ke rumah
ayahnya, Zam’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek moyang. Akan tetapi,
Zam’ah bin Qais tetap menerima dan menghormati putrinya. Tidak sedikit pun dia
berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam dan kembali menganut
kepercayaan nenek moyang.
Ketika Khaulah binti Hakim
berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia menyebut nama Saudah. Dalam
diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya, tetapi lebih melihat bahwa
Saudah adalah sosok wanita yang sabar, mujahidah yang hijrah bersama kaum
muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik.
Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya sebagai istri
yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan menyampaikan
kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi istri
Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba pilihan-Nya.
Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa gerangan yang telah engkau
perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg sebesar ini?
Rasulullah mengutusku untuk
meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu merupakan berita besar. Saudah tidak
pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah orang-orang mencampakkannya
karena kematian suaminya. Rasulullah yang mulia benar-benar akan menjadikannya
sebagai istri. Dengan perasaan terharu dia menyetujui permintaan itu dan
meminta Khaulah menemui ayahnya. Setelah Zam’ah bin Qais mengetahui siapa yang
akan meminang putrinya, dan Saudah pun sudah setuju, lamaran itu langsung
diterimanya, kemudian meminta Rasulullah Muhammad datang ke rumahnya.
Rasulullah memenuhi undangan tersebut bersama Khaulah, dan perkawinan itu
terlaksana dengan baik.
Berada di Rumah Rasulullah
Saudah mulai memasuki rumah
tangga Rasulullah, dan di dalamnya dia merasakan kehormatan yang sangat besar
sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan Fathimah seperti merawat anaknya
sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun menghargai dan memperlakukan Saudah
dengan baik.
Saudah memiliki kelembutan dan
kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Dia
tidak terlalu berharap dirinya dapat sejajar dengan Khadijah di hati
Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin.
Kelembutan dan kemanisan tutur katanya dapat menggantikan wajahnya yang tidak
begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan umurnya yang sudah tua. Apa pun yang
dia lakukan semata-mata untuk menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu
dia meriwayatkan hadits-hadits beliau untuk menunjukkan suka citanya di hadapan
Nabi.
Beberapa bulan lamanya Saudah
berada di tengah-tengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan keharmonisan mulai
terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia tidak pernah melakukan apa pun yang
dapat menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi, pada dasarnya, dia belum mampu
mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia telah memperoleh limpahan
kasih dari beliau, sehingga beberapa saat kemudian turun wahyu Allah yang
memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih sangat
belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna wahyu Allah
kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya menikah dengan
Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah melihat Aisyah,
beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.
Lantas, sikap apa yang dilakukan
Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut? Dia rela dan tidak sedikit pun
memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada di tengah keluarga
Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang gelar Ummul-Mukminin, dapat
menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya, sehingga dia tidak
terpengaruh oleh kepentingan duniawi.
Hijrahnya ke Madinah
Pertama kali Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah tanpa keluarga. Setelah menetap
di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang membawa keluarganya, termasuk Saudah
binti Zam’ah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju Madinah, dan itu
merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya, sekarang ini dia
hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at setia kepada
Rasulullah.
Setelah masjid Nabawi di Yatsrib
selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah di samping masjid tersebut. Di
rumah itulah Saudah dan putri-putri Nabi tinggal, hingga Ummu Kultsum dan
Fathimah menyayangi Saudah seperti kepada ibu kandung sendiri. Setelah
masyarakat Islam di Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah selesai dibangun, Abu
Bakar mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi putrinya, “Bukankah engkau
hendak membangun keluargamu, ya Rasul?” Ketika itu kehidupan Rasulullah
tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga kepentingan
pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar mengingatkannya, barulah
beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian beliau membangun kamar untuk
Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.
Sikap Hidupnya
Sejarah banyak mencatat sikap
Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar. Wajahnya senantiasa ceria dan tutur
katanya selalu lembut, bahkan dia sering membantu menyelesaikan urusan-urusan
Aisyah, sehingga Aisyah sangat mencintai Saudah. Begitulah kecintaannya kepada
Rasulullah sangat melekat erat di dasar hati. Segala sesuatunya dia niatkan
untuk memperoleh kerelaan Rasulullah melalui pengabdian yang tulus terhadap
keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya, kenikmatan yang paling besar di
dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan tertawa. Aisyah berkata, “Tidak
ada wanita yang lebih aku cintai untuk berkumpul bersamanya selain Saudah binti
Zam’ah, karena dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiiki wanita lain.” Itu
merupakan pengakuan Aisyah, wanita yang pikirannya cerdas dan senantiasa
jernih, yang selalu ingin bersama Saudah dalam jihad, keyakinan, kesabaran, dan
keteguhannya. Saudah merelakan malam-malam gilirannya untuk Aisyah semata-mata
untuk memperoleh keridhaan Rasulullah. Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah
semakin uzur dan Rasulullah ingin menceraikannya, Saudah berkata, “Aku mohon
jangan ceraikan diriku. Aku ingin selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku
rela menyerahkan malam-malamku untuk Aisyah. Aku sudah tidak menginginkan lagi
apa pun yang biasa diinginkan kaum wanita.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam pun mengurungkan niatnya. Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan
Saudah dengan baik-baik agar Saudah tidak bermasalah dengan istri-istri beliau
yang lainnya. Akan tetapi, Saudah menginginkan Rasulullah tetap mengikatnya
hingga akhir hayatnya agar dia dapat berkumpul dengan istri-istri Rasulullah.
Alasan itulah yang menyebabkan Rasulullah tetap mempertahankan pernikahannya
dengan Saudah.
Saudah mendampingi Rasulullah
dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum berangkat berperang, Rasulullah
mengundi dahulu istri yang akan menyertai beliau. Dalam Perang Khaibar, undian
jatuh pada diri Saudah, dan kali ini Rasulullah disertai pendamping yang sabar.
Dalam perang ini banyak sekali kesulitan yang dialami Saudah, karena banyak
juga kaum muslimin yang syahid sebelum Allah memberikan kemenangan kepada mereka.
Dalam kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak rampasan perang yang belum
pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah pun mendapatkan bagian
rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula Rasulullah menikahi Shafiyyah
binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu pun Saudah tetap rela dan menerima
kehadiran Shafiyyah karena hatinya bersih dari sifat iri dan cemburu.
Saudah menunaikan haji wada’
bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah lagi menunaikan ibadah haji karena
khawatir melanggar ketentuan beliau. Beberapa saat setelah haji wada’,
Shallallahu ‘alaihi wasallam sakit keras. Beliau meminta persetujuan
istri-istri beliau yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika Nabi sakit,
Saudah tidak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu Aisyah sampai
beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal sebagian besar dia
salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya. Dia
tidak pemah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Pada
saat-saat seperti itu Abu Bakar selalu menjenguknya karena dia tahu bahwa
Saudah sangat mencintai putrinya.
Pada masa kekhalifahan Umar bin
Khaththab, Saudah tetap menyendiri untuk beribadah hingga ajal menjemputnya.
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia meninggal pada tahun ke-19 Hijrah,
sementara itu ada juga riwayat yang mengatakan bahwa dia meninggal pada tahun
ke-54 Hijrah. Yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat pertama, karena
pada masa Rasulullah pun Saudah sudah termasuk tua.
Sifat dan Keutamaannya
Hal istimewa yang dimiliki Saudah
adalah kekuatannya dan keteguhannya dalam menanggung derita, seperti pengusiran,
penganiayian, dan bentuk kezaliman lainnya, baik yang datangnya dari kaum
Quraisy maupun dan keluarganya sendiri. Hal seperti itu tidak mudah dia
lakukan, karena perjalanan yang harus ditempuhnya itu sangat sulit serta
perasaan yang berat ketika harus meninggalkan keluarga dan kampung halaman.
Sifat mulia yang juga menonjol
darinya adalah kesabaran dan keridhaannya menerima takdir Allah ketika suaminya
meninggal, harus kembali ke rumah orang tua yang masih musyrik, hingga
Rasulullah memilihnya menjadi istri. Selama berada di tengah-tengah Rasulullah,
keimanan dan ketakwaannya bertambah. Dia pun bertambah rajin beribadah.
Jelasnya, kadar keimanannya berada di atas manusia rata-rata. Di dalam hatinya
tidak pernah ada perasaan cemburu terhadap istri-istri Rasulullah lainnya.
Saudah pun dikenal dengan
kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada sebagian riwayat dikatakan bahwa
Saudah paling gemar bersedekah di jalan Allah, baik ketika Rasulullah masih
hidup maupun pada masa berikutnya, yaitu pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan
Umar.
Pembawaan yang ceria dan
menyenangkan dia curahkan untuk menghibur Rasulullah. Karakter seperti itu
merupakan teladan yang baik bagi setiap istri hingga saat ini. Semoga rahmat
Allah senantiasa menyertai Sayyidah Saudah binti Zam’ah dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: Buku
Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Tambahan kisah lainnya:
Dia adalah wanita pertama yang
dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepeninggal khadijah,
kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam sampai Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk berumah tangga
dengan Aisyah.
Sebelum menikah dengan
Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah telah menikah dengan Sakran
bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan kemudian berhijrah ke Habasyah
bersama dengan rombongan shahabat yang lain.
Ketika Sakran dan istrinya Saudah
tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan meninggal. Maka jadilah Saudah
menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminang
saudah dan diterima oleh saudah dan menikahlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam dengan Saudah pada bulan Ramadhan.
Saudah adalah tipe seorang istri
yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran candanya, sebagaimana kisah yang
diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakha’i bahwasannya saudah berkata kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Wahai Rasulullah, tadi malam aku
shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungku dengan keras,
maka aku pegang hidungku karena aku takut keluar darah, Maka tertawalah
Rasulullah. Ibrahim berkata: Saudah biasa membuat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh Kubra 8/54).
Ketika Saudah sudah tua
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berniat hendak mencerainya, maka
saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Wahai
Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, bukanlah aku masih menghendaki laki-laki,
tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka
tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabulkan permohonannya dan
tetap menjadikannya menjadi salah satu dari seorang istrinya sampai Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat Al-Qur’an,
yang artinya: “Dan jika seorang wanita kuatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik..” (QS. An-Nisa’:128).
(Sunan Tirmidzi 8/320 dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah
7/720).
Aisyah berkata: Saudah meminta
izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu malam
Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum berdesak-desakkannya manusia, adalah
dia perempuan yang berat jika berjalan, sungguh kalau aku meminta izin
kepadanya sungguh lebih aku sukai daripada orang yang dilapangkan. (Thabaqah
Qubra 8/54).
Aisyah berkata: Aku tidak pernah
melihat seorang wanita yang paling aku ingin sekali menjadi dia daripada Saudah
binti Zam’ah, ketika dia tua dia berikan gilirannya dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam kepada Aisyah. ( Shahih Muslim 2/1085).
Di antara keutamaan Saudah adalah
ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada Rasulullah. Ketika haji wada’
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada para istri-istrinya:
Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya kalian menahan
diri di rumah-rumah kalian, maka sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
sallam, Saudah selalu di rumahnya dan tidak berangkat haji lagi sampai dia
meninggal. (Sunan Abu Dawud 2/140).
Aisyah berkata: Sesudah turun
ayat tentang hijab, keluarlah saudah di waktu malam untuk menunaikan hajatnya,
dia adalah wanita yang perawakannya tinggi besar sehingga mudah sekali
dibedakan dari wanita lainnya pada saat itu. Saat itu umar melihatnya dan
berkata :wahai saudah demi Allah kami tetap bisa mengenalimu, maka lihatlah
bagaimana engkau keluar, maka Saudah segera kembali dan menuju kepada
Rasulullah yang pada waktu itu di rumah Aisyah, ketika itu Rasulullah sedang
makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah Saudah seraya
berkata kepadanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku keluar untuk sebagai
keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu, maka
saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para wanita
untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan Muslim).
Saudah terkenal juga dengan
kezuhudannya, ketika umar mengirin kepadanya satu wadah berisi dirham, ketika
sampai kepadanya maka dibagi-bagikannya (Thabaqah kubra 8/56 dan dishahihkan
sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishobah 7/721).
Saudah termasuk deretan
istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjaga dan
menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits-haditsnya
diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam Bukhari,
Abu Dawud dan Nasa’i.
Saudah meninggal di akhir
kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal dia
mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya
dengan kebaikan yang melimpah.
Aisyah binti Abu Bakar ( wafat 57
h)
Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. membuka lembaran kehidupan rumah
tangganya dengan Aisyah yang telah banyak dikenal. Aisyah laksana lautan
luas dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang
banyak menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia
memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya adalah
sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi
yang lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
Ketika wahyu datang kepada
Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya di dunia dan
akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril datang membawa gambarnya
pada sepotong sutera hijau kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam., lalu
berkata, ini adalah istrimu di dunia dan akhirat.”
Dialah yang menjadi sebab atas
turunnya firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari
fitnah orang-orang munafik.
Nasab dan Masa KeciI Aisyab
Aisyah adalah putri Abdullah bin
Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin
Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal
dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang
pertama yang mempercayai Rasulullah ketika terjadi Isra’ Mi’raj, saat
orang-orang tidak mempercayainya.
Menurut riwayat, ibunya bernama
Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah
Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan
sebagai wanita pertama yang masuk Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku
berakal, kedua orang tuaku sudah menganut Islam.”
Ummu Ruman memberikan dua orang
anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Anak Iainnya, yaitu
Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, istri pertama yang dia
nikahi pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti
Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah
yang melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan empat tahun sesudah Nabi diutus
menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik,
Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar. Semasa kecil
dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah usianya belum
genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahwâ Rasulullah
membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.
Pernikahan yang Penuh Berkah
Dua tahun setelah wafatnya
Khadijah r.a, datang wahyu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. untuk
menikahi Aisyah . Setelah itu Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku melihatmu
dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa
gambarmu pada selembar sutera seraya berkata, ‘Ini adalah istrimu.’ Ketika aku
membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya, ‘Jika ini
benar dari Allah, niscaya akan terlaksana.” Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan
istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri
mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan
yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau
ditinggalkan di Mekah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang
untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya Aisyah . Karena cuaca buruk yang
melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan badannya menyusut seperti juga dialami
orang-orang Muhajirin. Menyaksikan hal itu, Rasulullah berdoa, “Ya Allah,
jadikanlah karni sebagai orang yang mencintai Madinah sebagaimana cinta kami
kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi. Sembuhkanlah penghuninya dan penyakit.
Berikanlah keberkahan kepada kami dalam timbangan dan takarannya. Lindungilah
kami dan penyakit, dan alihkanlah penyakit itu ke Juhfah.” Allah mengabulkan
doa Rasulullah, dan cuaca berangsur membaik, sehingga hilanglah penyakit yang
melanda kaum muhajirin. Aisyah pun sembuh dan bersiap-siap menghadapi hari
pernikahan dengan Rasuhillah Shallallahu alaihi wassalam.
Dengan izin Allah menikahlah
Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya oleh Abu Salamah bin
Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah:
“Aisyab menjawab, Mahar
Rasulullah kepada istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy.
Tahukah kamu satu nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy
itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar
Rasulullah terhadap istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)
Istri Kecintaan Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam.
Aisyah tinggal di kamar yang
berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehingga
kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di hati Rasulullah,
kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh istri-istri beliau
yang lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan,
“Cinta pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada
Aisyah .”
Di dalam riwayat Tirmidzi
dikisahkan, “Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah di
hadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka kamu.
Kamu telab menyakiti istri kecintaan Rasulullah’.”
Selain itu ada juga kisah lain
yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan itu sudah diketahui
oleh kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa
menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada Aisyah sebagai hari untuk
menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Keadaan seperti
itu menimbulkan kecemburuan di kalangan istri Rasulullah lainnya. Tentang hal
itu Aisyah pernah berkata:
“Orang-orang berbondong-bondong
memberi hadiah pada hari giliran Rasulullah padaku. Karena itu, teman-temanku
(istri Nabi yang lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah. Mereka berkata,
‘Hai Ummu Salamah, demi Allah, orang-orang berbondong-bondong mernberikan
hadiah pada hari giliranRasulullah di rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin
rnemperoleh kebaikan sebagaimana yang diinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi
seperti itu, Rasulullah meminta kaum muslimin untuk memberikan hadiah kepada
beliau pada hari giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun
telah menyatakan keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata, “Rasulullah
berpaling dariiku. Ketika beliau mendatangi aku, akupun kernbali
mernperingatkan hal itu, tetapi beliau berbuat hal yang serupa. Ketika aku
rnenginatkan beliau untuk yang ketiga kalinya, beliau tetap berpaling dariku,
sehingga akhirnya beliau bersabda, ‘Demi Allah, wahyu tidak turun kepadaku
selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika aku dalam satu selimut
bersama Aisyah.” (HR. Muslim)
Sekalipun perasaan cemburu
istri-istri Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai
kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu
Salamah berkata, ”Demi Allah, dia adalah manusia yang paling beliau cintai
setelah ayahnya (Abu Bakar).”
Suatu waktu, Rasulullah ditanya
oleh Amru bin ‘Aash, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?”
Beliau menjawab, “Aisyah!” Amru bertanya lagi, “Dan dari kalangan laki-laki?”
Beliau menjawab, “Ayahnya!” (Hadits muttafaqirn ‘alaihi)
Di antar istri-istri
Rasulullah, Saudah binti Zum’ah sangat memahami keutamaan- keutamaan Aisyah,
sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
Suatu hari Shafiyah bin Huyay
meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh
Ibnu Majah dari Aisyah.
“Suatu ketika Rasulullah enggan
mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu Shafyyah berkata kepada
Aisyah, ‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan Rasulullah kepadaku? Dan
engkau akan mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyab menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah
mengambil kerudung yang ditetesi za’faran dan disiram dengan air agar lebih
harum. Setelah itu dia duduk di sebelah Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya
Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab
berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan Allah kepada dia yang
dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian menceritakan duduk permasalahannya dan
Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah rela. Dia
menjaga agar jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya.
Karena itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan
selalu berhias untuk Rasulullah. Menjelang wafat, Rasulullah meminta izin
kepada istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya hingga
wafatnya. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena
Rasulullah wafat di pangkuanku.”
Fitnah Terhadapnya
Aisyah pernah mengalami fitnah
yang mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya, hingga turun ayat Al-Q ur’an
yang menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya bermula dari sini. Seperti
biasanya, sebelum berangkat perang, Rasulullah mengundi istrinya yang akan
menyertainya berperang. Ternyata undian jatuh kepada Aisyah, sehingga Aisyah
yang menyertai beliau dalam Perang Bani al-Musthaliq. Saat itu bertepatan
dengan turunnya perintah memakai hijab. Setelah perang selesai dan kaum
muslimin memetik kemenangan, Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika tentara
Islam tengah beristirahat di sebuah pelataran, Aisyah masih berada di dalam
sekedup untanya. Pada malam harinya, Rasulullah mengizinkan rombongan berangkat
pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya, dan kembali. Ternyata, kalung
di lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dan sekedup dan mencari-cari
kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap berangkat, sekedup yang mereka
angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah berada di dalam sekedup. Setelah
kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan, namun alangkah kagetnya karena
tidak ada seorang pun yang dia temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat itu,
dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di
dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah
tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah
tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun di
depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah tersebar, yang disulut oleh
Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika tuduhan itu sarnpai ke
telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka.
Usamah bin Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah keluargamu … yang kau
ketahui hanyalah kebaikan semata.“ Ali juga berpendapat, “Ya Rasulullah, Allah
tidak pernah mempersulit engkau. Banyak wanita selain dia.” Dari perkataan Ali,
ada pihak yang memperuncing masalah sehingga terjadilah pertentangan
berkelanjutan antara Aisyah dan Ali. Mendengar pendapat-pendapat dari para
sahabat Nabi, bentambah sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat adanya
perubahan sikap pada diri Nabi.
Ketika Aisyah sedang duduk-duduk
bersarna orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan bersabda:
“Wahai Aisyah aku mendengar
berita bahwa kau telah begini dan begitu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya
Allah akan menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa,
bertobatlah dengan penuh penyesalan, niscaya Allah akan mengampuni dosamu.”
Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar inmi,
dan ternyata engkau mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci
pun, niscaya hanya Allahlah yang mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak
akan mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu, sedangkan
Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku.
Aku hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu
lebih baik’. Dan Allah pula yang akan menolong atas apa yang engkau gambarkan.”
Aisyah sangat mengharapkan Allah
menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun wahyu itu tidak kunjung turun.
Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun meninggalkan rumah Rasulullah,
wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah pun turun kepada beliau. Rasulullah
segera menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah telah menyucikanmu dengan
firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.
tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya.
dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam
penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur:11)
Demikianlah kemulian yang
disandang Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan keagungannya di hati
Rasulullah.
Perjalanan Hidup yang Mulia
Pada hakikatnya, setiap manusia
memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan Aisyah, yang selain memiliki
kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan. Dalam hal ini dia pernah
berkata,
“Aku tidak pernah melihat pembuat
makanan seperti Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi makanan kepada Rasulullah.
Tanpa sadar aku pernah memecahkan tempat makanan yang dibawa Shafiyyah. Aku
bertanya kepada Rasulullah apa yang dapat dijadikan sebagai tempat yang pecah
itu. Rasulullab menjawab, ‘Tempat diganti dengan tempat dan makanan diganti
dengan makanan.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pernah berkata:
“Halah binti Khuwailid, saudara
perempuan Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah. Ketika itu Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa cara Halah meminta izin sama dengan
cara Khadijah meminta izin, dan beliau merasa senang atas semua itu. Lalu
beliau berkata, ‘Ya Allah, inilah Halah binti Khuwailid.’ Aku berkata, ‘Apa
yang engkau sebut itu adalab seorang nenek dari nenek-nenek kaum Quraisy, yang
kedua sudut mulutnya merah. Dia telah tua renta ditelan masa. Semoga Allah
memberi untukmu pengganti yang lebih baik daripada dia.‘ Mendengar itu
Rasulullah menjawab, ‘Allah tidak akan memberikan pengganti yang lebib baik
darpada Khadijah. Dia telah beriman kepadaku ketika orang lain mengingkariku.
Dia telah mempercayaiku ketika orang lain mendustakanku. Dia telah mendermakan
harta bendanya untuk perjuanganku ketika orang lain menolak memberikan harta
mereka. Allah telah memberkahiku dengan putra-putri lewat Khadijah ketika yang
lain tidak memberiku anak.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Terdapat beberapa pendirian yang
tegas dan pemecahan problema hukum yang penting, baik khusus yang berkaitan
dengan wanita maupun secara umum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin
secara umum. Diriwayatkan bahwa pada zaman dahulu seorang laki-laki dapat
menceraikan istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu akan kembali menjadi
istrinya jika suaminya membujuk kembali dalam keadaan iddah, sekalipun dia
telah menceraikannya seratus kali. Bahkan suami itu berkata kepada istrinya,
“Demi Allah, aku akan menceraikanmu sehingga engkau menjadi jelas, dan aku
tidak akan memberimu nafkah selamanya”. Istrinya menemui Aisyah dan
menceritakan. Dia menjawab, Aku menceraikanmu jika iddahmu hampir berakhir, dan
jika engkau telah suci kembali, aku akan merujukmu kembali. Istrinya menemui
Aisyah dan menceritakan masalah yang dihadapinya. Aisyah terdiarn hingga
Rasulullah datang. Beliau pun diam tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut hingga
turunlah ayat:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua
kali. Setelab itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‘ruf atau menceraikannya
dengan cara yang baik….” (al-Baqarah: 229)
Dalam penetapan hukum pun, Aisyah
kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Suatu ketika
dia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam mandi di tempat pemandian
umum. Aisyah mendatangi mereka dan berkata,
“Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya
di rumah selain rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia
dengan Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah pun pernah menyaksikan
adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam setelah
Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan tersebut seraya berkata,
“Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini),
niscaya beliau akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel
dilarang memasuki tempat ibadah mereka.”
Di dalam Thabaqat Ibnu Saad
mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul-Mukminin Aisyah .
Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik
kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.
Hadist yang Diriwayatkan Aisyah
Aisyah memiliki wawasan ilmu yang
luas serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik yang dikaji dari
Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, maupun ilmi fikih. Tentang masalah ilmu-ilmu
yang dimiliki Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-Hakim mengatakan bahwa
sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari
berkata, “Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada
Aisyah.” Para sahabat sering meminta pendapat jika menemukan masalah yang tidak
dapat mereka selesaikan sendiri. Aisyah pun sering mengoreksi ayat, hadits, dan
hukum yang keliru diberlakukan untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang
sebenarnya. Salah satu contoh adalah perkataan yang diungkapkan oleh Abu
Hurairah. Ketika itu Abu Hurairah merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Fadhi
ibnu Abbas bahwa barang siapa yang masih dalam keadaan junub pada terbit fajar,
maka dia dilarang berpuasa. Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Aisyah, Aisyah
menjawab, “Rasulullah pernah junub (pada waktu fajar) bukan karena mimpi,
kemudian beliau meneruskan puasanya.” Setelah mengetahui hal itu, Abu Hurairah
berkata, “Dia lebih mengetahui tentang keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah
lebih banyak berfungsi scbagai sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala
penjuru untuk menuntut ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa
membentangkan kain hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah
hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari A1-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah adalah orang yang paling
dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada
beliau, sebagairnana perkataannya ini:
“Aku pernah melihat wahyu turun
kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak
sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pun memiliki kesempatan
untuk bertanya langsung kepada Rasulullah jika menemukan sesuatu yang belum dia
pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia memperoleh
ilmu langsung dan Rasulullah sebagaimana ungkapannya ini:
“Aku bertanya kepada Rasulullah
tentang ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan
dengan hati yang takut….’ (QS. Al-Mu’minun: 60). Apakah yang dimaksud dengan
ayat di atas adalah para peminum khamar dan pencuri?” Beliau menjawab, ‘Bukan,
putri ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah,
tetapi takut (amal mereka tidak diterima). Mereka menyegerakan diri dalam
kebaikan, tetapi mendahului (menentukan sendiri) kebaikan tersebut.” (HR. Ibnu
Majah dan Tirmidzi).
Aisyah berkata lagi: “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang firman
Allah: ‘Yauma tabdalul-ardhu ghairal-ardha was-samawati. Di manakah manusia
berada, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Manusia berada di atas shirath.“
(HR. Muslim)
Aisyah termasuk wanita yang
banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sehingga
para ahli hadits menernpatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits
setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. Aisyah
memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits
yang langsung dia peroleh dan Rasulullah dan menghafalkannya di rumah. Karena
itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak pernah diriwayatkan oleh perawi
hadits lain. Para sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rurnah Aisyah
untuk langsung memperoleh hadits Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat
terjamin. Jika berselisih pendapat tentang suatu masalah, tidak segan-segan
mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak
saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar,
Umar, dan Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat pemerintah hingga wafat.
Aisyah dikenal sebagai perawi
hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan hukumnya tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu Salamah berkata,
“Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih mengetahui Sunnah Rasulullah,
lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui bagaimana
Al-Qur’an turun, serta lebih mengenal kewajibannya selain Aisyah.”
Suatu ketika Saad bin Hisyam
menemui Aisyah, dan berkata, “Aku ingin bertanya tentang bagaimana pendapatmu
jika aku tetap membujang selarnanya.” Aisyah menjawab, “Janganlah kau lakukan
hal itu, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda
tentang firman Allah: ‘Telah kami utus rasul-rasul sebelummu, dan Kami telah
ciptakan bagi mereka istri-istri dan keturunan.’ Oleh karena itu, janganlah
kamu membujang.” Urwah bin Zubeir, salah seorang murid Aisyah, sangat mengagumi
keluarbiasaan penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata, “Aku berpikir tentang
urusanmu. Sungguh aku mengagumimu. Menurutku engkau adalah manusia yang paling
banyak mengetahui sesuatu.” Aisyah berkata, “Apa yang menyebabkanmu berpendapat
seperti itu?” Dia menjawab, “Engkau adalah istri Nabi Shallallahu alaihi
wassalam dan putri Abu Bakar. Engkau mengetahui hari-hari, nasab, dan syair
orang-orang Arab.” Dia berkata lagi, “Apa yang menyebabkan engkau dan ayahmu
menjadi orang yang paling pandai dariipada seluruh orang Quraisy? Aku sangat
mengagumi kepandaianmu tentang ilmu medis. Dari manakah engkau mendapatkan ilmu
itu?” Aisyah menjawab, “Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. sering sakit, sehingga dokter-dokter Arab dan bukan Arab datang
mengobati beliau. Dari merekalah aku belajar.”
Tentang penguasaan bahasa dan
sastranya, kembali Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku belum pernah melihat
seorang pun yang lebih fasih dariipada Aisyah selain Rasulullah sendiri.”
Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku telah mendengar khutbah Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, dan Alii bin Abi Thalib. Hingga saat ini aku belum
pernah mendengar satu perkataan pun dari makhluk Tuhan yang lebih berisi dan
baik daripada perkataan Aisyah.” Salah satu contoh kefasihannya dapat kita
lihat dari kata-katanya pada kuburan ayahnya, Abu Bakar:
“Allah telah mengilaukan wajahmu,
dan bersyukur atas kebaikan yang telah engkau perbuat. Engkau merendahkan dunia
karena engkau berpaling darinya. Akan tetapi, untuk engkau adalah mulia, karena
engkau selalu menghadap untuknya. Kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah
wafat dan musibah terbesar adalah kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan
kesabaran dan menggantikan yang baik selainmu. Aku merasakan janji Allah yang
telah ditetapkan bagirnu dan ikhlas atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya
gantimu dan aku berdoa untukmu. Kami hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah
kami kembali. Bagimu salam sejahtera dan rahmat Allah.”
Dari Aisyah pun sering keluar
kata-kata hikmah yang terkenal, seperti:
“Bagi Allah mutiara takwa. Takkan
ada kesembuhan bagi orang yang di dalarn hatinya terbersit kemarahan.
Pernikahan adalah perbudakan, maka seseorang hendaklah melihat kepada siapa dia
mengabdikan putri kemuliaannya.”
Rasulullah Wafat dan Dikuburkan
di Kamarnya
Bagi Aisyah, menetapnya
Rasulullah selama sakit di kamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar
karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Di bawah ini dia melukiskan
detik-detik terakhir beliau menjelang wafat:
“Sungguh merupakan nikmat Allah
bagiku, Rasulullab wafat di rurnahku pada hariku dan dalam dekapanku. Allah
telah menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang wafat. Abdurrahman
menemuiku, di tangannya tergenggam siwak, sementara aku menyandarkan beliau.
Aku melihat beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku segera memahami bahwa
beliau menyukai siwak. Aku berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku haluskan siwak
untukmu?’ beliau memberi isyarat dengan kepala, sepertinya mengisyaratkan ‘ya’.
Kemudian beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan siwak, sernentara di
tangan beliau ada bejana berisi air. Beliau mernasukkan kedua belab tangan dan
mengusapkannya ke wajah seraya berkata, ‘Laa ilaaha illahu… setiap kematian
mengalami sekarat (beliau mengangkat tangannya)… pada Allah Yang Maha Tinggi.
‘Beliau menggenggam tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh ke bawab.“
(HR. Muttafaq Alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau meninggal.
Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke
kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar berkata,
“Jika yang engkau lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan tiga orang
yang paling mulia di muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar berkata,
“Beliau adalah orang yang paling mulia di antara ketiga bulanmu.” Ternyata Abu
Bakar dan Umar dikubur di rumah Aisyah.
Setelah Rasulullah Wafat
Setelah Rasulullah wafat, Aisyah
senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya
dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir Allah, dan selalu
berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk taat kepada Allah. Allah Subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
jahiliah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berrnaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.” (QS.
Al-Ahzab:33)
Rumah Aisyah senantiasa
dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu atau untuk
berziarah ke makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika istri-istri Nabi
hendak mengutus Utsman menghadap Khalifàh Abu Bakar untuk menanyakan harta
warisan Nabi yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru berkata, “Bukankah
Rasulullah telah berkata, ‘Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa
yang kami tinggalkan itu adalah sedekah.”
Semasa kekhalifahan Abu Bakar,
kadar keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di kalangan kaum muslimin, karena
dengan jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga karena kaum muslimin
sedang disibukkan oleh perang Riddah (perang melawan kaum murtad). Setelah dua
tahun tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu Bakar, meninggal
dunia. Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya agar
menguburkannya di sisi Rasulullah. Aisyah melaksanakan perintah ayahnya, dan
ketika Abu Bakar rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi,
kepalanya diletakkan pada sisi pundak Nabi.
Ilmu Aisyah mulai tampak pada
masa kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat besar senantiasa merujuk pendapat
Aisyah jika mereka dihadapkan pada permasalahan- permasalahan yang berkenaan
dengan kaum muslimin. Di dalam Thabaqat, dari Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad
berkata, “Para istri Nabi banyak rnenghafal hadits Nabi, namun hafalan Aisyah
dan Ummu Salamah tidak ada yang dapat menandingi. Aisyah adalah penasihat
kekhalifahan Umar dan Utsman hingga dia meninggal. Pada waktu itu, Umar sangat
memperhatikan keadaan istri-istri Nabi. Tentang hal itu Aisyah berkata, ‘Umar
bin Khaththab selalu memperhatikan keadaan kami dari ujung kepala sampai ujung
kaki. Dia memiliki tempat kurma besar yang selalu diisi buah-buahan dan
kemudian dikirimkan kepada istri-istrii Nabi Shallallahu alaihi wassalam.’
Begitu juga dengan Utsman bin Affan. Aisyah sangat menghormati Utsman karena
kedudukannya sangat terhormat di hati Rasulullah. Utsman bin Affan memiliki
kedermawanan dan rasa malu yang besar, sehingga Aisyah pernah berkata, ‘Nabi
Shallallahu alaihi wassalam. sangat malu jika bertemu dengan Utsman. Jika Nabi
bertemu dengannya, beliau akan duduk di sampingnya dan merapikan bajunya.’
Ketika Aisyah menanyakan hal itu, beliau menjawab, ‘Aku merasa malu kepada
seseorang yang kepadanya malaikat sangat malu.”
Di dalam hadits Nabi, Aisyah
meriwayatkan bahwa Rasulullah berwasiat kepada Utsman agar jangan turun dari
kekhalifahan jika belum terlaksana dengan sempurna. Beliau bersabda, “Wahai
Utsman, sesungguhnya pada suatu hari nanti Allah akan mengangkatmu dalam urusan
ini. Jika orang-orang munafik menginginkan agar engkau meninggalkan baju
kebesaran yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah engkau melepaskannya.” Beliau
mengulang perkataan tersebut tiga kali. Ketika Utsman meninggal di tangan
pemberontak, Aisyahlah yang pertama menuntut balas atas kematiannya.
Berkaitan dengan masalah
permusuhan Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri yang menetralkan
isu tersebut. Aisyah dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat, dan
tentunya Aisyah tidak akan melupakan bahwa Ali adalah anak paman Rasulullah
sekaligus sebagai suami dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu tidak akan
melupakan kegigihan Ali dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi orang pertama
yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Isu pertentangan Ali dan Aisyah tentu
saja tidak beralasan karena Aisyah sangat meyakini kualitas ilmu dan sifat
amanah Ali. Ketika Suraih bin Hani menanyakan kepada Aisyah tentang mengusap
khuffain (penutup kepala) ketika berwudhu, maka Aisyah menjawab, “Datanglah kepada
Ali, karena dia selalu bepergian (safar) bersama Rasulullah.”
Setelah Ali wafat, Aisyah
senantiasa berada di rumah dan memberikan pelajaran hadits dan tafsir ayat
Al-Qur’an. Aisyah tidak pernah rela membiarkan sepak terjang Mu’awiyah bin Abu
Sufyan yang banyak bertentangan dengan syariat Islam walaupun Mu’awiyah
senantiasa berusaha menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat, Mu’awiyah
mengutus seseorang untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya, “Tuliskan
untukku, dan jangan terlalu banyak!” Aisyah menjawab, “Salam sejahtera buatmu.
Aku mendengar Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Barang siapa
yang mencari keridhaan Allah sementara manusia marah, niscaya Allah cukupkan
baginya pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia
dengan kemurkaan Allah, niscaya Allah
wakilkan masalah tersebut kepada manusia. Salam sejahtera untukmu.”
Wafatnya Aisyah
Dalam hidupnya yang penuh dengan
jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan
Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’. Kehidupan Aisyah penuh
kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah,
selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Bahkan dia sering
memberikan anjuran untuk shalat malam kepada kaum muslimin. Dari Abdullah bin
Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan
shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika
beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya sambil duduk.” Aisyah
memiliki kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh
Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada
Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha,
lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata,
‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah pun senantiasa memperbanyak doa,
sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat
panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata, “Abdurrahman bin Abu Bakar menemui
Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu sedang berpuasa sehingga air yang dia
bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah
menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara aku mendengar Rasulullah telah
bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun
sebelumnya.”
Selain itu, Aisyah banyak
mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu
dirham atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi wassalam. pernah bersabda,
“Berjaga dirilah engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.”
Di dalam riwayat lain dikatakan, “Aku didatangi oleh seorang ibu yang membawa
dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu dariku sedangkan aku tidak memiliki apa
pun untuk diberikan kepada mereka selain satu biji kurma. Aku memberikan kurma
itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kern
udian pergi. Setelab itu Rasulullab masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh
anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan rnenjadi
penghalang baginya dari api neraka.“ (HR. Muttafaq Alaihi).
Ada juga riwayat lain yang
membuktikan kedermawanan Aisyah. Urwah berkata, “Mu’awiyah memberikan uang
sebanyak seratus ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari
terbenam, Aisyah sudah membagi-bagikan sernuanya. Budaknya berkata, ‘Seandainya
engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu dirham.’ Aisyah menjawab,
‘Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu,
niscaya akan aku lakukan hal itu untukmu.”
Semoga rahmat Allah senantiasa
menyertai Sayyidah Aisyah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak
di sisi-Nya. Amin.
Hafshah binti Umar (wafat
usia 47 th )
Hafshah binti Umar bin Khaththab
adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan
kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan
memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah
merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah
ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan
Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam
Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Umar
menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu
Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah
memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.
Jika kita menyebut nama Hafshah,
ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum muslimin
saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk
tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah
kitab yang sangat agung.
Nasab dan Masa Petumbuhannya
Nama lengkap Hafshah adalah
Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya
adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara
perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat
terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah memindahkan
Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh
karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu
Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau.
Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin
Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang
dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar
berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran
anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu
Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu
Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah
itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata,
“Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya,
dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy
membangun Ka’bah, lima tahun sebelum Nabi diutus menjadi Rasul.”
Sayyidah Hafshah Radhiyallahu
‘anha dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal
keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya
tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan
lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalam membaca dan menulis,
padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.
Memeluk Islam
Hafshah tidak termasuk ke dalam
golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran
Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga
suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui
keislaman saudara perempuannya, Fathimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat
marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara perempuannya,
Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dari dalam rumah, dan memuncaklah
amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka
hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga
terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya,
kemudian diambilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia
membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi
cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi yang
mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam.
Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih
dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.
Setelah kejadian itu, dari rumah
adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan
beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam
serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah
Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera
menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota
keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu
baru berusia sepuluh tahun.
Menikah dan Hijrah ke Madinah
Keislaman Umar membawa
keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman
kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi para muhajirin yang berada di
Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama ditinggalkan.
Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin
Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun
mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk
menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi
Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk
menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara
mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat
berbahagia karena dilandasi keimanan dan ketakwaan.
Ketika Allah menerangi penduduk
Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah menemukan sandaran baru yang dapat
membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah
ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dari penyiksaan
dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke
Yatsrib.
Cobaan dan Ganjaran
Setelah kaum muslimin berada di
Madinah dan Rasulullah berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat,
tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan
mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi
orang musyrik sudah tiba.
Peperangan pertama antara umat
Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah
telah menunjukkan kemenangan bagi hamba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah
mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin,
dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut.
Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun
Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama
melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu
usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran
atas cobaan yang menimpanya.
Umar sangat sedih karena anaknya
telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik
niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya
kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan merninta kesediaannya
untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit
pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk
menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam
kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun
menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa,
dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui
Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan
Umar, Rasulullah bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih
baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang
yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan
Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa
Rasulullah yang akan meminang putrinya.
Umar merasa sangat terhormat
mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan tampak pada
wajahnya. Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah
Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena
aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak
mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya,
tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar
menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas
meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum,
sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman
menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya).
Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau
terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang
mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.
Berada di Rumah Rasulullah
Di rumah Rasulullah, Hafshah
menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zam’ah dan Aisyah binti Abu
Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka
sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita
mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.
Umar memahami bagaimana tingginya
kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui bahwa orang yang
menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan
Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah.
Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan
mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah menjaga tindak-tanduknya
sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi,
memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi kesalahpahaman
yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah mendamaikan
mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya. Salah satu
contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah datang
rnenemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan
Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah Hafshah yang ketika itu sedang
pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamar tidurnya tertutup, sementara
Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah
meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan
meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya
kalau Mariyah tidak meminta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah
merahasiakan kejadian tersebut.
Merupakan hal yang wajar jika
istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah
satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah
Radhiyallahu ‘anha. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah
memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui
oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa
setelah kejadian tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikan
Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat
ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa
Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau
dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai
istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun
mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena tersebut Hafshah
sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Umar bin Khaththab mengingatkan
putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan senantiasa menaati
serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada tempat terpenting yang harus
dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena
memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan
suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu
yang tersebar.
“Hai Nabi, mengapa kamu
mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari
kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan
sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah
seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah)
menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu
(semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad
memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan
sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan
pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang
telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan
kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua
bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk
menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka
sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang
mukmin yang haik; dan selain dan itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.
Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya
dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman,
yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda,
dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)
Cobaan Besar
Hafshah senantiasa bertanya
kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar
kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa
memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau
bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika
mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah
Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya
telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar
memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang
dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki
banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah
bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga
mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak
menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya,
maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu
secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya
serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi
hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang
disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.
Setelah kejadian itu tersebarlah
kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin
Khaththab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar
berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah
menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali
dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak
akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali
kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat
memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak
sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang
menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya,
melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan
beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa
putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan
dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan
menceraikan istri – istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar
meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar
pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar
tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.
Setelah genap sebulan Rasulullah
menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat
penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan
Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka
kepada kaum muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling
menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan
menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah,
terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah
Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti
perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.
Hafshah merasa sangat kehilangan
ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa
kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yang
menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah
sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat
Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang
menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah
bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan
ba’iat.
Tentang wafatnya Hafshah,
sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke empat
puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di
Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.
Pemilik Mushaf yang Pertama
Karya besar Hafshah bagi Islam adalah
terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah
satu-satunya istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang pandai membaca dan
menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para
sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran
yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada masa khalifah Abu Bakar,
para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan
melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk
mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar
merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan
sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah
dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah
Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya.
Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.
Semoga rahmat Allah senantiasa
menyertai Hafshah Radhiyallahu ‘anha dan semoga Allah memberinya tempat yang
layak di sisi-Nya. Amin.
Zainab binti Khuzayma (wafat 1H)
Dapat dikatakan bahwa pengetahuan
kita tentang Zainab binti Khuzaimah r.a. sangatlah terbatas karena dia telah
wafat ketika Rasulullah saw. masih hidup.
Zainab binti Khuzaimah adalah
istri Rasulullah yang dikenal dengan kebaikan, kedermawanan, dan sifat
santunnya terhadap orang miskin. Dia adalah istri Rasul kedua yang wafat
setelah Khadijah r.a.. Untuk memuliakan dan mengagungkannya, Rasulullah
mengurus mayat Zainab dengan tangan beliau sendiri.
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama lengkap Zainab adalah Zainab
binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin
Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf bin Harits bin
Hamathah.
Berdasarkan asal-usul
keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal
lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan
bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia
sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana
telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaimali
bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah
al-Hilaliyah adalah Ummul-Masakin. Gclar tersebut disandangnya sejak masa
jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil
Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah saw. menikahinya sebelum beliau
menikah dengan Maimunah r.a., dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan
Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa
Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya,
kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia
utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam
dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa
orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi
Allah.
Keislaman dan Pernikahannya
Zainab binti Khuzaimah r.a.
termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita.
Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak
syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan
jahiliah.
Para perawi berbeda pendapat
tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan
Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah
Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian menceraikannya. Dia
menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar
atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya adalah
Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat
yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang
paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah
Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan
(mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk
mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahi
Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang
prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin
Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan
orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam
perang tersebut.
Setelah Ubaidah wafat, tidak ada
riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah saw.
menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan
meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat
Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah-
lembutannya terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang membawa rahmat bagi
alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin, termasuk
kepentingan Zainab. Beiau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan
mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orangorang
miskin.
Meskipun Nabi saw. mengingkari
beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah, tetapi beiau tidak
mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang oleh Zainab binti Khuzaimah.
Selain dikenal sebagai wanita
yang welas asih, Zainab juga dikenal sebagai isteri Rasulullah saw. yang senang
meringankan beban saudara-saudaranya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Atha
bin Yasir yang mengisahkan, bahwa Zainab mempunyai seorang budak hitam dari
Habasyah. Ia sangat menyayangi budak itu, hingga budak dari Habasyah itu tidak
diperlakukan layaknya seorang budak, Zainab malah memperlakukan layaknya
seorang kerabat dekat. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah
menyatakan pujian kepada Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah r.a. dengan
sabdanya, Ia benar-benar menjadi ibunda bagi orang-orang miskin, karena selalu
memberikan makan dan bersedekah kepada mereka.
Menjadi Ummul-Mukminin
Tidak diketahui dengan pasti
masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga Nabi saw., apakah sebelum
Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah saw. menikahinya karena
kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak begitu cantik dan
tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya. Tentang
lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak
tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah
tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan
tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab meninggal semasa
Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab
kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari tiga puluh
tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu A’lam.
Semoga rahmat Allah senantiasa
menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah r.a. dan semoga Allah memberinya
tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Ummu Salamah adalah seorang
Ummul-Mukminin yang berkepribadian kuat, cantik, dan menawan, serta memiliki
semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan, lebih-lebih setelah
berpisah dengan suami dan anak-anaknya. Berkat kematangan berpikir dan
ketepatan dalam mengambil keputusan, dia mendapatkan kedudukan mulia di sisi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Di dalam sirah Ummahatul Mukminin
dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting darinya yang
dapat diteladani kaum muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu menjaga
kehormatan keluarga maupun sebagai pejuang di jalan Allah.
Nama dan Nasabnya
Nama sebenarnya Ummu Salamah
adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan nama Ummu Salamah. Beliau dibesarkan
di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy. Ayahnya bernama Suhail bin Mughirah
bin Makhzum. Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal sebagai seorang dermawan sehingga
dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir) karena dia selalu menjamu setiap
orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia adalah pemimpin kaumnya, terkaya,
dan terbesar wibawanya. Ibu dari Ummu Salamah bernama Atikah binti Amir bin
Rabi’ah bin Malik bin Jazimah bin Alqamah al-Kan’aniyah yang berasal dari Bani
Faras.
Demikianlah, Hindun dibesarkan di
dalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani. Kecantikannya
meluluhkan setiap orang yang melihatnya dan kebaikan pribadinya telah tertanam
sejak kecil.
Pernikahan dan Perjuangannya
Banyak pemuda Mekah yang ingin
mempersunting Hindun, dan yang berhasil menikahinya adalah Abdullah bin Abdul
Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, seorang penunggang kuda
terkenal dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang gagah berani. Ibunya
bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim, bibi Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam. Abdullah adalah saudara sesusuan Nabi dari Tsuwaibah, budak Abu
Lahab. Mereka hidup bahagia, dan rumah tangga mereka diliputi kerukunan dan
kesejahteraan.
Tidak lama setelah itu, dakwah
Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk Islam dan menjadi orang-orang
pertama yang masuk Islam. Begitu pula dengan Hindun, dia tergolong orang-orang
yang pertama masuk Islam, dan bersama suaminya memulai perjuangan dalam hidup
mereka.
Orang-orang Quraisy selalu
mengganggu dan menyiksa kaum muslimin agar mereka meninggalkan agama Islam dan
kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat kondisi seperti itu, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengizinkan mereka untuk hijrah ke Habasyah,
sehingga mereka disebut sebagai kaum muhajirin yang pertama. Mereka menetap di
Habasyah, dan di sana Hindun melahirkan anak-anaknya: Zainab, Salamah, Umar,
dan Durrah.
Setelah beberapa lama, mereka
berniat kembali ke Mekah, terutama setelah mendengar keislaman dua tokoh
penting Quraisy, Umar bin Khaththab dan Hamzah bin Abdul-Muththalib. Akan
tetapi, ternyata penyiksaan masih terus berlangsung, bahkan bertambah dahsyat.
Untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya, Abu Salamah meminta perlindungan
dari Abu Thalib (paman Nabi) dari siksaan kaumnya, yaitu Bani Makhzum, dan Abu
Thalib menyatakan perlindungannya.
Cobaan Datang
Karena orang-orang Quraisy masih
saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka hati penduduk Madinah untuk
menerima Islam. Kemudian Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke
sana, baik secara kelompok maupun perorangan. Abu Salamah, istri, dan anaknya
(Salamah) hijrah ke sana. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh kaum Bani
Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang kemudian merampas serta menyandera Ummu
Salamah. Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut campur tangan dan mereka menolak
menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas dan dijauhkan dari ibunya.
Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan dipenjara. Adapun Abu Salamah
dibiarkan ke Yatsrib dengan hati penuh kesedihan karena harus berpisah dengan
istri dan anaknya.
Keadaan demikian berjalan kurang
lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus menangis karena kecewa atas
perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang laki-laki dari kaumnya yang
merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul suaminya di Madinah. Adapun
Bani Asad menyerahkan kembali putranya, Salamah, kepadanya. Akan tetapi, banyak
rintangan yang harus dia hadapi, dan berkat keimanan dan keinginan yang kuat,
dia mampu mengatasi semua itu dan tiba di Madinah.
Pesan Abu Salamah untuk Istrinya
Dalam membela Islam, peran Abu
Salamah sangat besar. Dia dikenal berani dalam berperang. Rasulullah
menghargainya dengan mengangkatnya sebagai wakil Rasulullah di Madinah ketika
beliau pergi memimpin pasukan dalam perang Dzil Asyirah pada tahun kedua
hijriah. Abu Salamah ikut dalam Perang Badar dan Uhud. Ketika dalam perang
Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah dan nyaris meninggal, namun
beberapa saat kemudian dia sembuh.
Setelah Perang Uhud, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerima berita bahwa Bani Asad hendak menyerang
kaum muslimin di Madinah. Sebelum mereka menyerang, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wassalam. berinisiatif mendahului mereka. Dalam misi ini, beliau
menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan yang berjumlah seratus lima puluh
orang dan di dalamnya terdapat Saad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah,
Amir bin Jarrah, dan yang lainnya. Pasukan diarahkan ke Bukit Quthn, tempat
mata air Bani Asad. Kemenangan gemilang diraih oleh pasukan Abu Salamah, dan
mereka kembali ke Madinah dengan membawa banyak harta rampasan perang. Di
Madinah, luka-luka Abu Salamah kambuh sehingga dia harus beristirahat beberapa
waktu. Ketika sakit, Rasulullah selalu menjenguk dan mendoakannya.
Ummu Salamah selalu mendampingi
suaminya yang sedang dalam keadaan sakit sehingga dia merawat dan menjaganya
siang dan malam. Suatu hari, demam Abu Salamah menghebat, kemudian Ummu Salamah
berkata kepada suaminya, “Aku mendapat berita bahwa seorang perempuan yang
ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya masuk surga, istrinya pun akan masuk
surga, jika setelah itu istrinya tidak menikah lagi, dan Allah akan
mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pula jika si istri yang meninggal,
dan suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk itu, mari kita berjanji
bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku, dan aku berjanji untukmu
untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu.” Abu Salamah berkata, “Maukah engkau
menaati perintahku?” Dia menjawab, “Adapun saya bermusyawarah hanya untuk
taat.” Abu Salamah berkata, “Seandainya aku mati, maka menikahlah.” Lalu dia
berdoa kepada Allah ”Ya Allah, kurniakanlah kepada Ummu Salamah sesudahku
seseorang yang lebih baik dariku, yang tidak akan menyengsarakan dan
menyakitinya.”
Pada detik-detik akhir hidupnya,
RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu berada di samping Abu Salamah dan
senantiasa memohon kesembuhannya kepada Allah. Akan tetapi, Allah berkehendak
lain. Beberapa saat kemudian maut datang menjemput. Rasulullah menutupkan kedua
mata Abu Salamah dengan tangannya yang mulia dan bertakbir sembilan kali. Di
antara yang hadir ada yang berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau sedang dalam
keadaan lupa?” Beliau menjawab, “Aku sama sekali tidak dalam keadaan lupa,
sekalipun bertakbir untuknya seribu kali, dia berhak atas takbir itu.” Kemudian
beliau menoleh kepada Ummu Salamah dan bersabda, “Barang siapa yang ditimpa
suatu musibah, maka ucapkanlah sebagaimana yang telah dperintahkan oleh Allah,
‘Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-Nyalah kita akan dikembalikan. Ya
Allah, karuniakanlah bagiku dalam musibahku dan berilah aku ganti yang lebih baik
daripadanya, maka Allah akan melaksanakannya untuknya.”
Setelah itu Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdo’a: “Ya Allah, berilah ketabahan atas
kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan berilah pengganti
yang lebih baik untuknya.”
Abu Salamah wafat setelah
berjuang menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh kedudukan yang mulia di
sisi Rasulullah. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salamah diliputi rasa sedih. Dia
menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim.
Setelah wafatnya Abu Salamah,
para pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang Ummu Salamah. Hal ini
mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat suaminya dan untuk
melindungi diri Ummu Salamah. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab
meminangnya, tetapi Ummu Salamah menolaknya.
Pada saat dirundung kesedihan
atas suami yang benar-benar dicintainya serta belum mendapatkan orang yang
lebih baik darinya, ia didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
dengan maksud menghiburnya dan meringankan apa yang dialaminya. Rasulullah
berkata kepadanya, “Mintalah kepada Allah agar Dia memberimu pahala pada
musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih baik.” Ummu Salamah
bertanya, “Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, wahai Rasulullah?”
Di Rumah Rasulullah
Rasulullah mulai memikirkan
perkara Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki kesabaran, dan
Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar.
Rasulullah pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang untuk tidak
membiarkannya larut dalam kesedihan dan kesendirian.
Dalam keadaan seperti itu
Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah menemui Ummu Salamah dengan maksud
meminangnya untuk beliau. Maka oleh Ummu Salamah diterimanya pinangan tersebut.
Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima pinangan dari orang yang lebih
baik dari Abu Salamah, bahkan lebih baik dan semua orang di dunia.
Dengan perkawinan tersebut maka
Ummu Salamah termasuk kalangan Ummahatul- Mukminin, dan oleh Rasulullah ia
ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang digelari Ummul-Masakiin (ibu
bagi orang-orang miskin) sampai Ummu Salamah meninggal dunia.
Hal itu diceritakan oleh Ummu
Salamah kepada kami. Ia berkata, “Aku dipersunting oleh Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam, lalu aku dipindahkan dan ditempatkan di rumah Zainab (ummul-
masakiin).”
Beberapa keistimewaan yang
dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan berpikir, dan
keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki kedudukan
yang agung di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti
interaksinya dengan para Ummahatul-Mukminin yang merupakan interaksi yang
diliputi rasa kasih sayang dan kelemah-lembutan.
Kedudukannya yang Agung
Di antara perkara yang
menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam adalah apa yang diceritakan Urwah bin Zubair; “Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam menyuruh Ummu Salamah melaksanakan shalat shubuh di Mekah pada
hari penyembelihan (qurban) — padahal saat itu merupakan hari (giliran)nya.
Oleh sebab itu, Rasulullah merasa senang atas kesetujuannya.”
Begitu juga hadits Ummi Kultsum
binti Uqbah yang dimasukkan oleh Ibnu Sa’ad dalam (kitab) Thabaqat-nya. Ummi
Kultsum berkata; “Tatkala Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menikahi Ummu
Salamah, beliau berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku menghadiahkan untuk Raja
Najasyi sejumlah bejana berisikan minyak wangi dan selimut. Akan tetapi, aku
bermimpi bahwa Raja Najasyi itu telah meninggal dunia, kemudian hadiah yang
kuberikan kepadanya dikembalikan kepadaku. Karena dikembalikan kepadaku, maka
barang tersebut menjadi milikku.”
Sebagaimana yang dikatakan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Raja Najasyi meninggal dunia, dan hadiah tersebut
dikembalikan kepadanya. Lalu beliau memberikan kepada setiap istrinya
masing-masing satu uqiyah (1/2 liter Mesir) dan beliau memberi (sisa)
keseluruhannya serta selimut kepada Ummu Salamah.
Setelah Ummu Salamah menjadi
istrinya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memasukkannya dalam kalangan
ahlul-bait. Di antara riwayat tentang masalah tersebut adalah bahwasanya pernah
pada suatu hari Rasulullah berada di sisi Ummu Salamah, dan anak perempuan Ummu
Salamah ada di sana. Rasulullah kemudian didatangi anak perempuannya, Fathimah
az-Zahra, disertai kedua anaknya, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma, lalu
Rasullah memeluk Fathimah dan berkata, “Semoga rahmat Allah dan berkah-Nya
tercurah pada kalian wahai ahlul-bait. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji (lagi)
Maha Mulia.”
Lalu menangislah Ummu Salamah.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menanyakan tentang penyebab
tangisnya itu. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau mengistimewakan mereka
sedangkan aku dan anak perempuanku engkau tinggalkan. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya engkau dan anak perempuanmu termasuk keluargaku.”
Anak perempuan Ummu Salamah,
Zainab, tumbuh dalam peliharaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam ia
termasuk di antara wanita yang memiliki ilmu yang luas pada masanya.
Sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam mempersunting Ummu Salamah, wahyu pernah turun kepada Rasulullah di
kamar Aisyah, yang dengan hal itu Aisyah membanggakannya pada istri-stri beliau
yang lain. Maka setelah Rasulullah menikahi Ummu Salamah, wahyu turun kepadanya
ketika beliau berada di kamar Ummu Salamah.
Beberapa Sikap Cemerlang pada
Masa Hidup Ummu Salamah.
Di antara sikap agungnya adalah
apa yang ditunjukkannya pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam pada hari
(perjanjian) Hudaibiyah. Pada waktu itu ia menyertai Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam dalam perjalanannya menuju Mekah dengan tujuan menunaikan
umrah, tetapi orang-orang musyrik mencegah mereka untuk memasuki Mekah, dan
terjadilah Perjanjian Hudaibiyah antara kedua belah pihak.
Akan tetapi, sebagian besar kaum
muslimin merasa dikhianati dan merasa bahwa orang-orang musyrik menyia-nyiakan
sejumlah hak-hak kaum muslimin. Di antara mayoritas yang menaruh dendam itu
adalah Umar bin al-Khaththab, yang berkata kepada Rasulullah dalam
percakapannya dengan beliau, “Atas perkara apa kita serahkan nyawa di dalam
agama kita?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Saya adalah
hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak
akan menyia-nyiakanku.”
Akan tetapi, tanda-tanda bahaya semakin
memuncak setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyuruh kaum muslimin
melaksanakan penyembelihan hewan qurban kemudian bercukur, tetapi tidak seorang
pun dari mereka melaksanakannya. Beliau mengulang seruannya tiga kali tanpa ada
sambutan.
Beliau menemui istrinya, Ummu
Salamah, dan menceritakan kepadanya tentang sikap kaum muslimin. Ummu Salamah
berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan perintah Allah ini
dilaksanakan oleh kaum muslimin? Keluarlah engkau, kemudian janganlah mengajak
bicara sepatah kata seorang pun dari mereka sampai engkau menyembelih qurbanmu
serta memanggil tukang cukur yang mencukurmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam kagum atas pendapatnya dan bangkit mengerjakan sebagaimana yang
diusulkan Ummu Salamah. Tatkala kaum muslimin melihat Rasulullah mengerjakan
hal itu tanpa berkata kepada mereka, mereka bangkit dan menyembelih serta
sebagian dari mereka mulai mencukur kepala sebagian yang lain tanpa ada
perasaan keluh kesah dan penyesalan atas tindakan Rasulullah yang mendahului
mereka.
Ummu Salamah telah menyertai
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam di banyak peperangan, yaitu peperangan
Khaibar, Pembebasan Mekah, pengepungan Tha’if, peperangan Hawazin, Tsaqif
kemudian ikut bersama beliau di Haji Wada’.
Kita tidak melupakan sikapnya
terhadap Umar bin al-Khaththab, tatkala Umar datang kepadanya dan mengajak
bicara tentang perkara keperluan Ummahatul-Mukminin kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam serta kekasaran mereka terhadap Rasulullah. Maka ia
berkata, “Engkau ini aneh, wahai anak al-Khaththab. Engkau telah ikut campur di
setiap perkara sehingga ingin mencampuri urusan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam beserta istri-istrinya?”
Setelah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam meninggal dunia ia senantiasa mengenang beliau dan sangat
berduka cita atas kewafatannya. Beliau senantiasa banyak melakukan puasa dan
beribadah, tidak kikir pada ilmu, serta meriwayatkan hadits yang berasal dan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Telah diriwayatkannya sekian
banyak hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah dan suaminya, Abu Salamah,
serta dari Fathimah az-Zahraa Sedangkan orang yang meriwayatkan darinya banyak
sekali, di antara mereka adalah anak-anaknya dan para pemuka dan sahabat serta
ahli hadits.
Di antara beberapa sikapnya yang
nyata adalah pada hari pembebasan kota Mekah. Waktu itu Nabi keluar dari
Madinah bersama bala tentaranya dengan kehebatan dan jumlah yang belum pernah
disaksikan oleh bangsa Arab, sehingga orang-orang musyrik Quraisy merasa takut,
dan mereka keluar dari rumah dengan maksud menemui Rasulullah untuk bertobat
dan menyatakan keislaman mereka.
Termasuk dari mereka, Abu Sufyan
bin al-Harits bin Abdul-Muththalib (anak paman Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam.) dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah (anak bibi [dari ayah]
Rasulullah, saudara Ummu Salamah sebapak). Ketika mereka berdua meminta izin
masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau enggan memberi
izin masuk bagi keduanya disebabkan penyiksaan mereka yang keras terhadap kaum
muslimin menjelang beliau hijrah dari Mekah.
Maka berkatalah Ummu Salamah
kepada Rasulullah dengan perasaan iba terhadap keluarganya sendiri dan juga
keluarga Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mereka berdua adalah anak pamanmu dan
anak bibimu (dan ayah) serta iparmu.” Rasulullah menjawab, “Tidak ada keperluan
bagiku dengan mereka berdua. Adapun anak pamanku, aku telah diperlakukan
olehnya dengan tidak baik. Adapun anak bibiku (dari ayah) serta iparku telah
berkata di Mekah dengan apa yang ia katakan.”
Pernyataan itu telah sampai
kepada Abu Sufyan, anak paman Rasulullah. Maka ia berkata, “Demi Allah, ia
harus mengizinkanku atau aku mengambil anak ini dengan kedua tanganku -pada
saat itu ia bersama anaknya, Ja’far- kemudian kami harus berkelana di dunia
sehingga mati kehausan dan kelaparan.”
Lalu Ummu Salamah memberitahukan
perkataan Abu Sufyan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
dengan kembali memohon rasa belas kasih. Akhirnya hati beliau menjadi luluh,
lalu mengizinkan keduanya masuk. Maka masuklah keduanya dan menyatakan
keislaman serta bertobat di hadapan Rasulullah.
Sikapnya terhadap Fitnah
Ummu Salamah selalu berada di
rumahnya, senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan
menjaga Sunnah suaminya tercinta pada masa (khilafah) Abu Bakar ash-Shiddiq dan
Umar bin al-Khaththab.
Pada masa khilafah Utsman bin
Affan ia melihat kegoncangan situasi serta perpecahan kaum muslimin di seputar
khalifah. Bahaya fitnah semakin memuncak di langit kaum muslirnin. Maka ia
pergi menemui Utsman dan menasihatinya supaya tetap berpegang teguh pada
petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta petunjuk Abu Bakar dan
Umar bin al-Khaththab, tidak menyimpang dan petunjuk tersebut selama-lamanya.
Apa yang dikhawatirkan Ummu
Salamah terjadi juga, yaitu peristiwa terbunuhnya Utsman yang saat itu tengah
membaca Al-Qur’an dan angin fitnah tengah bertiup kencang terhadap kaum
muslimin. Pada saat itu Aisyah telah membulatkan tekad untuk keluar menuju
Bashrah disertai Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin al-’Awwam dengan tujuan
memobilisasi massa untuk melawan Ali bin Abi Thalib. Maka Ummu Salamah mengirim
surat yang memiliki sastra indah kepada Aisyah.
“Dari Ummu Salamah, Istri Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, untuk Aisyah Ummul-Mu’ minin. Sesungguhnya aku
memuji Allah yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia. Amma ba’du. Engkau
sungguh telah merobek pembatas antara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
dan umatnya yang merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya. Sungguh
Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah
telah menahan suaramu, maka janganlah engkau mengeluarkannya Serta Allah telah
tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya
beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya. nTidakkah engkau tahu bahwasanya
beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya tiang agama
tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu telah miring,
dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur. Jihad wanita adalah
tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan kasih
sayangnya.”
Ummu Salamah berada di pihak Ali
bin Abi Thalib karena beliau menggikuti kesepakatan kaum muslimin atas
terpilihnya beliau sebagai khalifah mereka. Karena itu, Ummu Salamah
mengirim/mengutus anaknya, Umar, untuk ikut berperang dalam barisan ‘Ali
radhiyallahu ‘anhu .
Saat Wafatnya
Pada tahun ke-59 hijriah, usia
Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan pikun merambah di
pertambahan umurnya. Allah ta’ala mengangkat rohnya yang suci naik ke atas
menuju hadirat-Nya. Ia meninggal dunia setelah hidup dengan aktivitas yang
dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di jalan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan Rasul-Nya. Beliau dishalatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu a’nhu
dan dikuburkan di al-Baqi’ di samping kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya.
Semoga rahmat Allah senantiasa
menyertai Sayyidah Ummu Salamah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak
di sisi-Nya. Amin.
Zainab binti Jahsy ( wafat
20 H )
Pernikahan Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam dengan Zainab binti Jahsy didasarkan pada perintah Allah
sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah istri
Rasulullah yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak perempuan
dari bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib. Beliau sangat mencintai
Zainab.
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama lengkap Zainab adalah Zainab
binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin Gham bin
Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya
adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah
dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim
bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelum
kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pernimpin Quraisy yang
dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga
yang terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy menyebutnya
dengan perempuan Quraisy yang cantik.
Zainab termasuk wanita pertama
yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan keluarganya
sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika itu
dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah.
Pernikahannya dengan Zaid bin
Haritsah
Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an
yang memerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan pernikahan. Zainab berasal dan
golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah adalah budak Rasulullah yang
sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin menyebutnya sebagai orang
kesayangan Rasulullah. Zaid berasal dari keluarga Arab yang kedua orang tuanya
beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah dengan kedua orang tuanya
karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin Hizam untuk bibinya,
Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha, lalu dihadiahkannya kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ayah Zaid, Haritsah bin Syarahil,
senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa Zaid berada di rumah
Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara tetap bersama beliau
atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, “Aku tidak menginginkan
mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang engkau pilihkan untukku.
Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman.” Setelah itu, Rasulullah mengumumkan
pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak. Ketika Islam datang, Zaid
adalah orang yang pertama kali memeluk Islam dari kalangan budak. Dia
senantiasa berada di dekat Nabi, terutama setelah dia meninggalkan Mekah,
sehingga beliau sangat mencintainya, bahkan beliau pernah bersabda tentang
Zaid,
“Orang yang aku cintai adalah
orang yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad)
Allah telah memberikan nikmat
kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah memberinya nikmat dengan
kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Zaid
dengan Hamzah bin Abdul Muththalib. Dalam banyak peperangan, Zaid selalu
bersama Rasulullah, dan tidak jarang pula dia ditunjuk untuk menjadi komandan
pasukan. Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata, “Rasulullah tidak mengirimkan
Zaid ke medan perang kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan pasukan,
Seandainya dia tetap hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti
beliau.”
Masih banyak riwayat yang
menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin
Haritsah. Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu
juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang
gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati
mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah
ayat kepada mereka:
“Dan tidaklah patut bagi laki
-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ (Q.S.
Al-Ahzab: 36)
Akhirnya Zainab menikah dengan
Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya Zainab tidak
menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ingin
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan
dan amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk
menghilangkan tradisi jahiliyah yang senang membanggakan diri dan keturunan.
Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan tersebut karena ada
perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid, Zainab selalu
membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid menghadap
Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya. Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti
nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan
bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab.
Mendengar itu, beliau bersabda,
“Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah.” Kemudian beliau
mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah Allah. Beberapa saat
kemudian turunlah ayat, “Pertahankan terus istrimu dan bertakwalah kepada
Allah.” Zaid berusaha menenangkan diri dan bersabar, namun tingkah laku Zainab
sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak. Selanjutnya, Zainab
dinikahi Rasulullah.
Prinsip dasar yang
melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy adalah untuk
menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah.
Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak
kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat Al-Qur’an
telah diangkat sebagai anak oleh beliau. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,’ itulah yang lebih adil
pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah
mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.” (QS.
Al-Ahzab:5)
Karena itu, seseorang tidak
berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan orang tua angkat
(bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah bercerai
dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad. Allah
telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh
Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan perintah tersebut,
bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan peringatan sekali
lagi dalam ayat:
“Dan (ingatlah), ketika kamu
berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu
(juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah
kepada Allah, ‘sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada
istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.“ (QS. Al-Ahzab:37)
Ayat di atas merupakan perintah
Allah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menikahi Zainab dengan tujuan
meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah Allah
tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta
pernikahan pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah.
Zainab mulai memasuki rumah
tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri Nabi yang
berasal dari kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika
memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu
meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati
istri Rasul lainnya.
Orang-orang munafik yang tidak
senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa Rasulullah
telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi,
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan
penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)
Zainab berkata kepada Nabi, “Aku
adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik di antara
mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku
denganmu atas perintah dari langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut.
Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka
seperti halnya denganku.” Zainab sangat mencintai Rasulullah dan merasakan
hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat pencemburu terhadap istri
Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur bersamanya selama dua
atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab wanita Yahudiyah itu.
Zainab bertangan terampil,
menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan sulaman, dan hasilnya
diinfakkan di jalan Allah.
Wafatnya
Zainab binti Jahsy adalah istri
Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada tahun kedua
puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalam usianya yang
ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Zainab
berkata menjelang ajalnya, “Aku telah menyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan
mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika
kalian dapat bersedekah dengan semua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang
lain.” Semasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah.
Tentang Zainab, Aisyah berkata,
“Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalam kedudukannya di
hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya
daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling
suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan
diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada
Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.”
Semoga Allah memberikan kemuliaan
kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat dan ditempatkan bersama
hamba-hamba yang saleh. Amin.
Juwairiyah binti al-Harits bin
Abi Dhiraar ( wafat 56 th )
Telah kita ketahui bahwa setiap
istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu memiliki suatu kelebihan. Demikian
juga halnya dengan Juwairiyah yang telah membawa berkah besar bagi kaumnya,
Bani al-Musthaliq. Bagaimana tidak, setelah dia memeluk Islam, Bani
al-Musthaliq mengikrarkan diri menjadi pengikut Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Hal ini pernah diungkapkan Aisyah, “Aku tidak mengetahui jika ada
seorang wanita yang lebih banyak berkahnya terhadap kaumnya daripada
Juwairiyah.”
Juwairiyah adalah putri seorang
pemimpin Bani al-Musthaliq yang bernama al-Harits bin Abi Dhiraar yang sangat
memusuhi Islam. Rasulullah memerangi mereka sehingga banyak kalangan mereka
yang terbunuh dan wanita-wanitanya menjadi tawanan perang. Di antara tawanan
tersebut terdapat Juwairiyah yang kemudian memeluk Islam, dan keislamannya itu
merupakan awal kebaikan bagi kaumnya.
Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Juwairiyah dilahirkan empat belas
tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Semula namanya adalah Burrah, yang
kemudian diganti menjadi Juwairiyah. Nama lengkapnya adalah Juwairiyah binti
al-Harits bin Abi Dhiraar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin
Musthaliq bin Khuzaah. Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang masih
musyrik dan menyembah berhala sehingga Juwairiyah dibesarkan dalam kondisi
keluarga seperti itu. Tentunya dia memiliki sifat dan kehormatan sebagai
keluarga seorang pemimpin. Dia adalah gadis cantik yang paling luas ilmunya dan
paling baik budi pekertinya di antara kaumnya. Kemudian dia menikah dengan
seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan.
Berada dalam Tawanan Rasulullah
Di bawah komando al-Harits bin
Abi Dhiraar, orang-orang munafik berniat menghancurkan kaum muslimin. Al-Harits
sudah mengetahui kekalahan orang-orang Quraisy yang berturut-turut oleh kaum
muslimin. Al-Harits beranggapan, jika pasukannya berhasil mengalahkan kaum
muslimin, mereka dapat menjadi penguasa suku-suku Arab setelah kekuasaan bangsa
Quraisy. Al-Harits menghasut pengikutnya untuk memerangi Rasulullah dan kaum
muslimin. Akan tetapi, kabar tentang persiapan penyerangan tersebut terdengar
oleh Rasulullah, sehingga beliau berinisiatif untuk mendahului menyerang
mereka. Dalam penyerangan tersebut, Aisyah Radhiyallahu ‘anha turut bersama
Rasulullah, yang kemudian meriwayatkan pertemuan Rasulullah dengan Juwairiyah
setelah dia menjadi tawanan. Perang antara pasukan kaum muslimin dengan Bani
al-Musthaliq pun pecah, dan akhirnya dimenangkan oleh pasukan muslim. Pemimpin
mereka, al-Harist, melarikan diri, dan putrinya, Juwairiyah, tertawan di tangan
Tsabit bin Qais al-Anshari. Juwairiyah mendatangi Rasulullah dan mengadukan
kehinaan dan kemalangan yang menimpanya, terutama tentang suaminya yang
terbunuh dalam peperangan.
Tentang Juwairiyah, Aisyah
mengemukakan cerita sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Saad dalam
Thabaqatnya, “Rasulullah menawan wanita-wanita Bani Musthaliq, kemudian beliau
menyisihkan seperlima dari antara mereka dan membagikannya kepada kaum
muslimin. Bagi penunggang kuda mendapat dua bagian, dan lelaki yang lain
mendapat satu bagian. Juwairiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas
al-Anshari. Sebelumnya, Juwairiyah menikah dengan anak pamannya, yaitu Musafi
bin Shafwan bin Malik bin Juzaimah, yang tewas dalam pertempuran melawan kaum
muslimin. Ketika Rasulullah tengah berkumpul denganku, Juwairiyah datang menanyakan
tentang penjanjian pembebasannya. Aku sangat membencinya ketika dia menemui
beliau. Kemudian dia benkata, ‘Ya Rasulullah, aku Juwairiyah binti al-Harits,
pemimpin kaumnya. Sekarang ini aku tengah berada dalam kekuasaan Tsabit bin
Qais. Dia membebaniku dengan sembilan keping emas, padahal aku sangat
menginginkan kebebasanku.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau menginginkan sesuatu
yang lebih dari itu?’ Dia balik bertanya, ‘Apakah gerangan itu?’ Beliau
menjawab, ‘Aku penuhi permintaanmu dalam membayar sembilan keping emas dan aku
akan menikahimu.’ Dia menjawab, ‘Baiklah, ya Rasulullah!” Beliau bersabda, ‘Aku
akan melaksanakannya.’ Lalu tersebarlah kabar itu, dan para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Ipar-ipar Rasulullah tidak layak menjadi
budak-budak.’ Mereka membebaskan tawanan Bani al-Musthaliq yang jumlahnya
hingga seratus keluarga karena perkawinan Juwairiyah dengan Rasulullah. Aku
tidak pernah menemukan seorang wanita yang lebih banyak memiliki berkah
daripada Juwairiyah.”
Selain itu, Aisyah sangat
memperhatikan kecantikan Juwairiyah, dan itulah di antaranya yang menyebabkan
Rasulullah menawarkan untuk menikahinya. Aisyah sangat cemburu dengan keadaan
seperti itu. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat baik kepada
Juwairiyah bukan semata karena wajahnya yang cantik, melainkan karena rasa
belas kasih beliau kepadanya. Juwairiyah adalah wanita yang ditinggal mati
suaminya dan saat itu dia telah menjadi tawanan rampasan perang kaum muslimin.
Mendengar putrinya berada dalam
tawanan kaum muslimin, al-Harits bin Abi Dhiraar mengumpulkan puluhan unta dan
dibawanya ke Madinah untuk menebus putrinya. Sebelum sampai di Madinah dia
berpendapat untuk tidak membawa seluruh untanya, namun dia hanya membawa dua
ekor unta yang terbaik, yang kemudian dibawa ke al-Haqiq di bawah pengawasan
para pengawalnya. Lalu dia pergi ke Madinah dan menemui Rasulullah di masjid.
Terdapat dua riwayat yang menerangkan pertemuan al-Harits dengan Rasulullah.
Dalam riwayat pertama, seperti yang diungkapkan Ibnu Saad dalam Thabaqat-nya,
dikatakan bahwa Rasulullah menyerahkan keputusan kepada Juwairiyah.
Juwairiyah berkata, “Aku telah
memilih Rasulullah ..” Ayahnya berkata, “Demi Allah, kau telah menghinakan
kami.” Dalam riwayat kedua seperti yang disebutkan Ibnu Hisyam bahwa al-Harits
menemui Rasulullah dan berkata, “Ya Muhammad, engkau telah menawan putriku. Ini
adalah tebusan untuk kebebasannya.” Rasulullah menjawab, “Di manakah kedua unta
yang engkau sembunyikan di al-Haqiq? Di tempat anu dan anu?” Al-Harits
menjawab, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan engkau adalah utusanNya.
Tiada yang mengetahui hal itu selain Allah.” Al-Harits memeluk Islam dan
diikuti sebagian kaumnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminang
Juwairiyah dengan mas kawin 400 dirham.
Berada di Rumah Rasulullah
Ketika Juwairiyah menikah dengan
Rasulullah, beliau mengubah namanya, yang asalnya Burrah menjadi Juwairiyah,
sebagaimana disebutkan dalam Thabaqat-nya Ibnu Saad, “Nama Juwairiyah binti
al-Harits merupakan perubahan dari Burrah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menggantinya menjadi Juwairiyah, karena khawatir disebut bahwa beliau
keluar dari rumah burrah.”
Juwairiyah telah memeluk Islam
dan keimanan di hatinya telah kuat. Semata-mata dia mengikhlaskan diri untuk
Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abbas banyak meriwayatkan shalat dan ibadahnya, di
antaranya, “Ketika itu Rasulullah hendak melakukan shalat fajar dan keluar dari
tempatnya. Setelah shalat fajar dan duduk hingga matahani meninggi, beliau
pulang, sementara Juwairiyah tetap dalam shalatnya. Juwairiah berkata, ‘Aku
tetap giat shalat setelahmu, ya Rasulullah.’ Nabi bersabda, ‘Aku akan
mengatakan sebuah kalimat setelahmu. Jika engkau kerjakan, niscaya akan lebih
berat dalam timbangan, ‘Maha Suci Allah, sebanyak yang Dia ciptakan. Maha Suci
Allah Penghias Arsy-Nya. Maha Suci Allah, unsur seluruh kalimat-Nya.”
Setelah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri serta
memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah dengan harta yang diterimanya
dari Baitul-Mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan Aisyah, dia
banyak berdiam diri, tidak berpihak ke mana pun.
Saat Wafatnya
Juwairiyah wafat pada masa
kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, pada usianya yang keenam puluh. Dia
dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Rasulullah yang
lain. Semoga Allah rela kepadanya dan kepada semua istri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Semoga Allah memberikan kemuliaan
kepadanya di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab
( wafat 50 H)
Nama dan Nasabnya
Nama lengkapnya adalah Shafiyyah
binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj
bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhum dari keturunan Harun bin Imran.
Ibunya bernama Barrah binti Samaual dari Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan
sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam. Ayahnya adalah seorang pemimpin Bani Nadhir.
Sejak kecil dia menyukai ilmu
pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari kitab
suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang
akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah kenabian
tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekah Dia sangat heran ketika
kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas tertulis
di dalam kitab mereka. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang sangat
gigih menyulut permusuhan terhadap kaum muslimin.
Sifat dusta, tipu muslihat, dan
pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak peristiwa. Di
antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay terhadap kaumnya
sendiri, Yahudi Bani Quraizhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk mendukung dan
memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian tidak
mengkhianati kaum muslimin (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum
Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan
tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang
Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk menghasut kaum Quraisy agar memerangi
kaum muslimin, dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy)
lebih mulia daripada agama Muhammad, dan tuhan mereka lebih baik daripada tuhan
Muhammad.
Masa Pernikahannya
Sayyidah Shafiyyah bin Huyay
Radhiyallahu ‘anha telah dua kali menikah sebelum dengan Rasulullah. Suami
pertamanya bernama Salam bin Musykam, salah seorang pemimpin Bani Quraizhah,
namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Suami keduanya bernama
Kinanah bin Rabi’ bin Abil Hafiq, yang juga salah seorang pemimpin Bani
Quraizhah yang diusir Rasulullah dan kemudian menetap di Khaibar.
Penaklukan Khaibar dan
Penawanannya
Perang Khandaq telah membuka
tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati
dengan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam segera menyadari
ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke
Khaibar kemudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum
muslimin.
Setelah perjanjian Hudaibiyah
disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi,
tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan
terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa hari lamanya,
dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka
berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang, dan
kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara tawanan perang itu
terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal mati suaminya.
Bilal membawa Shafiyyah dan putri
pamannya menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di sepanjang jalan yang
dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah
sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi
tawanan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memahami
kesedihan yang dialaminya, kemudian beliau bersabda kepada Bilal, “Sudah
hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa
dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam memilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu
menawarkan Islam kepadanya dan kemudian diterimanya.
Seperti telah dikaji di atas,
Shafiyyah telah banyak memikirkan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam sejak dia belum mengetahui kerasulan beliau. Keyakinannya bertambah
besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas
Radhiayallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah binti
Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku?’
Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah mengharapkanmu sejak aku masih musyrik,
dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah
memeluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada
Rasulullah dan rindunya terhadap Islam.
Bukti-bukti yang jelas tentang
keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalarn tidurnya
kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui takwil dan mimpi
itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga berbekas di wajahnya.
Rasulullah melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?” Dia
menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib,
kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku,
Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang
dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan
dengannya. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan.
Shafiyyah telah memilih Islam serta menikah dengan Rasulullah ketika beliau
memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau tetap
dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk
tetap bersama Nabi, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang
sangat membahayakan kaum muslimin, di samping itu, juga karena kecintaannya
kepada Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya beliau terhadap istri-istri yang
lain. Akan tetapi, istri-istri beliau menyambut kedatangan Shafiyyah dengan
wajah sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena
kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka, Rasulullah pernah tidak tidur
dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang
Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit,
sementara unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta
tunggangan Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu dari untamu?’
Zainab menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’
Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan Muharam.
Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab berkata,
‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah mengatakan
lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah
mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mengungkit-ungkit
asal-usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah
sambil menangis. Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan,
bagaimana kalian berdua lebih baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan
pamanku Musa.” Di dalam hadits riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika
Shafiyyah mendengar Hafshah berkata, ‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian
Rasulullah menghampirinya dan berkata, ‘Mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab,
‘Hafshah binti Umar mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’ Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah
nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia
banggakan kepadamu?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian berkata
kepada Hafshah, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah!”
Salah satu bukti cinta Shafiyyah
kepada Nabi terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam
Thabaqat-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau wafat.
Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga
menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain.
Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan terkejut
mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat mata kalian
terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”
Setelah Rasulullah wafat,
Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu
menganggapnya berasal dari Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan
mendukung perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika terjadi fitnah
besar atas kematian Utsman bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu,
dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian
menguburkannya di Baqi’. Semoga Allah memberinya tempat yang lapang dan mulia
di sisiNya. Amin.
UMMU HABIBA BINT SUFYAN (wafat 44
th / 664 m )
Dalam perjalanan hidupnya, Ummu
Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam,
dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari
agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan
meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah
selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul
dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka
sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai
wafat?
Allah tidak akan membiarkan
hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar penderitaan Ummu
Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau menikahinya dan Ummu
Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai
dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang
beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.
Keistimewaan Ummu Habibah di
antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang
pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori pernentangan terhadap dakwah
Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.
Masa Kecil dan Nasab
Pertumbuhannya
Ummu Habibah dilahirkan tiga
belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu ‘Alaihi Wasallam dengan nama
Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Unayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal
dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah
bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan
radhiyallahu ‘anhu. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang
kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik.
Pernikahan, Hijrah, dan
Penderitaannya
Ketika usia Ramlah sudah cukup
untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun
menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama
Ibrahirn ‘alaihissalam. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta
berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah
menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya
yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalam hatinya terbesit keinginan
untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim ‘alaihissalam.
Sementara itu, di Mekah mulai
tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru, yaitu agama Samawi
yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya. Mendengar kabar itu, hati
Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia
pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.
Mendengar misi Muhammad berhasil
dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang terhadap kaum muslimin
sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Di
antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Setelah
beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan,
bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada
agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya yang pertama.
Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi nama Habibah.
Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah.
Selama mereka di Habasyah
terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat dan jumlahnya
bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal mereka.
Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di Habasyah. Di
tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke Mekah mendengar
kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang musyrik semakin
meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin. Akhirnya mereka
memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
Beberapa tahun tinggal di
Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan cepat berlalu dan
barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum habis. Kondisi itulah
yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan
pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit
hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu Habibah mengatakan bahwa dia
memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek
bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah berubah.’
Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada
agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri
untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama
Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan
kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak mempedulikannya.
Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras sehingga merenggut nyawanya.”
Demikianlah, Ubaidillah keluar
dari agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke Habasyah, dengan
menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri dan anaknya yang
masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam,
namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan mempertahankannya
hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa terasing di tengah kaum muslimin
karena merasa malu atas kemurtadan suaminya. Baginya tidak ada pilihan lain
kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya, Abu Sufyan, sedang gencar
menyerang Nabi dan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti itu, Ummu Habibah
merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara keluarga suaminya telah
meninggalkan rumah mereka karena telah bergabung dengan Rasulullah. Akhirnya,
dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan
menanti takdir dari Allah.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang berada di Mekah
dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah beliau
mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita
yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya.
Ummu Habibah menceritakan mimpi
dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam tidurku aku melihat seseorang
menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut.
Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku.” Dia melanjutkan,
“Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi
mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang
bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata,
‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu
dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar gembira dengan membawa
kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak
mengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian
aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan
cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang
dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersama Syarahbil bin Hasanah
dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita pernikahan Ummu Habibah
dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal itu,
Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih
sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. …“
(QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.
menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
Hidup bersama Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua tugas, yaitu
mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri mereka (Madinah) karena posisi
kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di
tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita kemenangan kaum
muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu pun mereka rasakan di
Madinah karena saudara mereka telah kembali dari Habasyah. Rasulullah menyambut
mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah.
Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalam rumah, yang ketika itu bersamaan juga
dengan pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah
seorang pimpinan Yahudi Khaibar yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi
membebaskan dan menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut
kedatangan Ummu Habibah dengan hangat dan rasa hormat, berbeda dengan
penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.
Perjalanan hidup Ummu Habibah di
tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan konflik antar istri atau
mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada riwayat yang mengisahkan
tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa cemburu.
Posisi yang Sulit
Telah kita sebutkan di atas
tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara istri-istri Rasulullah.
Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika Ummu Habibah mendapat
cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan
keyakinan itu kepada orang tuanya.
Orang-orang Quraisy mengingkari
perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah.
Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah terikat perjanjian
perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah
berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga
Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum muslimin akan
menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani Qazaah yang mereka
lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum muslimin sehingga mereka
memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal dengan kemampuan dan
kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan Rasulullah.
Sesampainya di Madinah, Abu
Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih dahulu menemui Ummu
Habibah dan berusaha memperalat putrinya itu untuk kepentingannya. Betapa
terkejutnya Ummu Habibah ketika melihat ayahnya berada di dekatnya setelah
sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak
keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari
keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu
Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera
melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan
sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, “Apakah kau melipat
tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau menyingkirkannya dariku?” Ummu
Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk Rasulullah, sedangkan engkau
adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.”
Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga
dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaum
muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan
terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di
dalamnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah. Dia mendoakan
kaum muslimin agar memperoleh kemenangan.
Allah mengizinkan kaum muslimin
untuk membebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan tentara Islam memasuki
Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Dia
merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini
menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya
memeluk Islam. Abu Sufyan menerima ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya
dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu
Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata,
“Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung.” Di sini
tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang siapa
yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup
pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil
Haram, dia akan selamat.” Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang,
dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan
Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya.
Akhir sebuah Perjalanan
Setelah Rasulullah Shalalahu
‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kejadian
fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa
pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun
dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia
juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika
bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang
kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya
adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang shalat
sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun baginya
rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya
setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu Habibah wafat pada tahun
ke-44 hijrah dalam usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’
bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di
sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Amin.
Maimunah Binti al-Harits (Wafat
50 H)
Maimunah binti al-Harits
al-Hilaliyah adalah istri Nabi yang sangat mencintai beliau dengan tulus selama
mengarungi bahtera numah tangga bersama. Dialah satu-satunya wanita yang dengan
ikhlas menyerahkan dirinya kepada kepada Rasulullah ketika keluarganya hidup
dalam kebiasaan jahiliyah. Allah telah menurunkan ayat yang berhubungan dengan
dirinya:
“.. dan perempuan mukmin yang
menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai
pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukminin…” (QS. Al-Ahzab:50)
Ayat di atas merupakan kesaksian
Allah terhadap ke ikhlasan Maimunah kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana
mungkin Rasulullah menolak wanita yang dengan suka rela menyerahkan dirinya.
Hal itu menunjukkan kadar ketakwaan dan keimanan Maimunah. Selain itu, wanita
itu berasal dari keturunan yang baik. Kakak kandungnya, Ummul-Fadhal, adalah
istri Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Nabi) dan wanita yang pertama kali
memeluk Islam setelah Khadijah. Saudara perempuan seibunya adalah Zainab binti
Khuzaimah (istri Nabi Shallallahu alaihi wasallam.), Asma binti Umais (istri
Ja’far bin Abu Thalib), dan Salma binti Umais (istri Hamzah bin
Abdul-Muththalib).
Nasab, Masa Pertumbuhan, dan
Pernikahan
Nama lengkap Maimunah adalah
Barrah binti al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin Abdullah bin
Hilal bin Amir bin Sha’shaah. Ibunya bernama Hindun binti Aus bin Zubai bin
Harits bin Hamathah bin Jarsy.
Dalam keluarganya, Maimunah
termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan dari
Rasulullah, “Al-Mu’minah adalah tiga bersaudara, yaitu Maimunah, Ummu-Fadhal,
dan Asma’.” Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia
mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh
peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya,
Ummul-Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun dia menyembunyikan
keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.
Tentang suaminya, banyak riwayat
yang memperselisihkannya, namun ada juga kesepakatan mereka tentang asal-usul
suaminya yang berasal dan keluarga Abdul-Uzza (Abu Lahab). Sebagian besar
riwayat mengatakan bahwa nama suaminya adalah Abu Rahm bin Abdul-Uzza, seorang
muysrik yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya meninggalkan Maimunah sebagai
janda pada usia 26 tahun.
Kekokohan Iman
Setelah suaminya meninggal,
dengan leluasa Maimunah dapat menyatakan keimanan dan kecintaannya kepada
Rasulullah. Sehingga dengan suka rela dia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah
untuk dinikahi sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hisyam dalam Al-Ishabah-nya
Ibnu Hajar dari referensi az-Zuhri.
Tentang penyerahan Maimunah
kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam ini telah dinyatakan dalam Al-Qur’an
surat al-Ahzab:50. Maimunah tinggal bersama saudara perempuannya, Ummul Fadhal,
istri Abbas bin Abdul Muththalib. Suatu ketika, kepada kakaknya, Maimunah
menyatakan niat penyerahan dirinya kepada Rasulullah. Ummul-Fadhl menyampaikan
berita itu kepada suaminya sehingga Abbas pun mengabarkannya kepada Rasulullah.
Rasulullah mengutus seseorang kepada Abbas untuk meminang Maimunah. Betapa
gembiranya perasaan Maimunah setelah mengetahui kesediaan Rasulullah menikahi
dirinya.
Mimpi yang Menjadi Kenyataan
Pada tahun berikutnya, setelah
perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum muslimin memasuki Mekah untuk
melaksanakan ibadah umrah. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Nabi
diizinkan untuk menetap di sana selama riga hari, namun orang-orang Quraisy
menolak permintaan Nabi dan kaum muslimin untuk berdiam di sana lebih dari tiga
hari. Kesempatan itu digunakan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam Untuk
melangsungkan pernikahan dengan Maimunah. Setelah pernikahan itu, beliau dan
kaum muslimin meninggalkan Mekah.
Maimunah mulai memasuki kehidupan
rumah tangga Rasulullah dan beliau menempatkannya di kamar tersendiri. Maimunah
memperlakukan istri-istri beliau yang lain dengan baik dan penuh hormat dengan
tujuan mendapatkan kerelaan hati beliau semata.
Tentang Maimunah, Aisyah
menggambarkannya sebagai berikut. “Demi Allah, Maimunah adalah wanita yang baik
kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami.” Dia dikenal dengan
kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin mendekatkan diri
kepada Allah. Riwayat-riwayat pun menceritakan penguasaan ilmunya yang luas.
Saat Wafatnya
Pada masa pemerintahan Khalifah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bertepatan dengan perjalanan kembali dari haji, di
suatu tempat dekat Saraf, Maimunah merasa ajalnya menjelang tiba. Ketika itu
dia berusia delapan puluh tahun, bertepatan dengan tahun ke-61 hijriah. Dia
dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang dia sampaikan. Menurut
sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang terakhir meninggal. Semoga Allah
memberi tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Mariyah al-Qibtiyah
(Wafat-16H/637 M)
Seorang wanita asal Mesir yang
dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah
dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama
Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan
meninggal pada masa kekhalifahan Umar.
Seperti halnya Sayyidah Raihanah
binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau
bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau
memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun
memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri
Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahim, setelah
Khadijah.
Dari Mesir ke Yastrib
Tentang nasab Mariyah, tidak
banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti
Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn.
Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agarna Masehi
Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah
dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah mengirim surat kepada
Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, menyeru raja agar memeluk Islam. Raja
Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk
Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi,
serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah
perjalanan Hatib merasakan kesedihan hati Mariyah karena harus meninggalkan
kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan
Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerima ajakan
tersebut.
Rasulullah telah menerima kabar
penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap
budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan
menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang
lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga
Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak
di sebelah rnasjid.
Ibrahim bin Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam
Allah menghendaki Mariyah
al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah Radhiyallahu
‘anha. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah,
terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal
dunia.
Mariyah mengandung setelah
setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena
telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang
anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada
bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang
kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak
para nabi, Ibrahim Alaihissalam. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya.
Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan gembira.
Akan tetapi, di kalangan istri
Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan
dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan
terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan
Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah mengharamkan Mariyah atas
diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya:
“Hai Muhammad, mengapa kamu
mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan
hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. At-Tahriim:1)
Aisyah mengungkapkan rasa
cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali
kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik
kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah
Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi,
beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu,
Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat
itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.” Di dalam riwayat lain dikatakan
bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni
anak seorang pun.”
Beberapa orang dari kalangan
golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong
dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan
bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah
Ali Radhiyallahu ‘anhu menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan
bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang kesembilan
belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya.
Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam, ketika sakit
Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim
dalam keadaan sekarat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami
tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari, air mata
telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,
“Wahai Ibrahim, seandainya ini
bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli
masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini.
Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih,
dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Demikianlah keadaan Nabi ketika
menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau
tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh
manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Saat Wafatnya
Setelah Rasulullah wafat, Mariyah
hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia
wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-16 hijrah,
pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang
menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’.
Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.
0 comments:
Post a Comment